Translate

Kamis, 21 Maret 2013

DAGANG

    Akhirnya aku bisa juga beristirahat. Setelah sekian lama terpasung dalam pekerjaan kantor yang monoton dan membosankan, bosku mengabulkan permintaan cutiku. Terus terang, pengabulan permohonan ini merupakan anugrah. Karena perusahaanku tempat bekerja amat menjunjung tinggi kinerja dan loyalitas karyawan. Dalam artian, menuntut setiap karyawannya untuk selalu berjibaku, membanting tulang dan memeras otak dan tenaga, hanya demi kepentingan dan kemajuan perusahaan.  Sementara dilain pihak menuntut para karyawan untuk menempatkan kepentingan perusahaan diatas segalanya. Termasuk diatas keperntingan keluarga, sosial masyarakat, atau yang lainnya. Perusahaanku sangat bangga dengan hal ini, dan amat berterima kasih kepada para karyawannya yang bersedia bekerja mati-matian walaupun digaji cukup murah. Setidaknya itulah yang selalu dikatakan bosku disetiap pidato perayaan ulang tahun perusahaan.
    Namun, mungkin karena terbiasa dengan irama hidup yang penuh dengan kesibukan, pada hari kedua dari cuti panjangku selama 6 hari (karena biasanya perusahaan hanya memberi cuti selama 3 hari, tapi ini tentu saja tidak berlaku para beliau-beliau pemegang jabatan kunci. Mereka bisa cuti kapan saja, dan selama dia inginkan), aku jadi merasa bosan untuk terus merasa dirumah. Saat jam didinding menunjukkan pukul 10, aku memutuskan untuk mencoba kembali hobi lamaku, jalan-jalan kepasar. Yah, aku dulu sangat suka jalan-jalan kepasar. Pasar adalah tempat yang istimewa. Segala bentuk gairah, perjuangan dan kecerdikan terdapat disana. Menurutku, jaman sekarang ini, dipasarlah orang dapat kembali menemukan kemanusiaannya. Interaksi, canda tawa, caci maki, dan berbagai bentuk emosi yang terdapat pada diri manusia, tumpah ruah disana. Aku amat suka berada dipasar, aku sangat senang kepasar. Maka pada pagi itu aku memutuskan, aku akan pergi kepasar. Semangat untuk bernostalgia memancar dari jiwaku. Bergegas kuambil dompet dan kunci motor, dan tanpa membuang waktu, aku segera melesat menuju pasar.
    Setelah memarkirkan motorku, akupun masuk kedalam kompleks pasar. Ah, ternyata masih seperti dahulu. Semrawut, berantakan, dan becek. Teriakan-teriakan para penjual yang sedang menjajakan barangnya, atau suara perdebatan dari pembeli dan penjual yang sedang bertransaksi mengenai harga, atau teriakan keras dari para tukang angkat atau tukang air agar tidak menghalangi jalannya, bersahutan disana-sini. Aku tersenyum bahagia, akhirnya setelah sekian lama, aku bisa melihat dan merasakan kembali semua suasana ini.
    Saat itulah aku teringat akan sebuah kedai kopi yang berada ditengah pasar. Dulu aku sering kesana, menikmati secangkir kopi yang ditemani pisang gorang atau ubi goreng, dan menyaksikan atau terkadang ikut dalam acara debat dengan pengunjung yang lainnya. Temanya beragam, bebas tanpa aturan. Mulai dari masalah pasar yang (selalu) becek, mengenai iuran mingguan dan masalah-masalah umum yang dihadapi oleh para pedagang, sampai kemasalah naiknya kurs mata uang, turunnya harga minyak dunia, atau mengomentari tentang penyerangan sebuah negara terhadap negara yang lain. Atau terkadang, jika hari telah mendekati bulan puasa atau bulan haji, tema keagamaan pun tak luput dari pembicaraan. Semuanya bebas untuk berbicara, semuanya bebas mengeluarkan pendapat, asal tetap bersikap sopan. Anda boleh saja berbicara, walaupun anda baru saja datang. Anda boleh saja mengomentari pendapat orang lain, walaupun anda tidak begitu kenal dengan orang tersebut. Sering kupikir, mungkin inilah perwujudan demokrasi yang paling realistis yang ada dinegeri ini. Ya, demokrasi kedai kopi. Oleh karena itu, aku merasakan kembali suasana itu, aku akan pergi kesana. Mudah-mudahan masih ada.
    Akupun mulai berjalan. Kuperhatikan kesana-sini, berdesak-desakan, menghindari jalan becek, sambil sesekali menepi memberi jalan para tukang angkat dan tukang air untuk lewat. Walaupun tidak banyak berubah, namun bukan berarti tak ada sama sekali. Pada saat sekarang, terdapat beberapa kedai baru yang menjual berbagai macam keperluan. Memang ada beberapa pemaian lama yang masih kuingat, namun banyak pula pemain baru yang turut mengadu nasib. Ada beberapa kedai yang telah berubah dagangannya, bahkan ada yang tidak lagi berdagang barang, beralih menawarkan jasa.
    Tiba-tiba dari belakang ada yang memegang pundakku.
    “Maaf, abang ini yang dulu sering main didepan bioskop pasar ini kan?” tanya seorang pemuda berbadan kekar berambut pendek dan berbaju kaos ketat itu kepadaku. Memang, saat kuperhatikan wajahnya terasa familiar, namun aku lupa. Jadi, pertanyaannya aku jawab dengan anggukan perlahan sementara memoriku bekerja mengingat wajah itu.
    Dia tersenyum gembira. Ah, senyum itu! Yah, aku memang pernah melihatnya pada masa silam.
    “Masih ingat sama aku bang? Aku Marwan, pengamen yang selalu minta rokok sama abang dulu? Bahkan dulu waktu abang sedang tidak punya uang, abang ikut ngamen sama saya berkeliling pasar ini. Masa abang lupa?”
    Marwan? Ya, aku ingat sekarang! Marwan, pemuda ceking pengamen jalanan yang selalu menyandang gitar butut dan hanya bisa menyanyikan tiga lagu. Ya, Marwan yang selalu meminta rokokku dengan alasan dia belum dapat uang dari mengamennya, pemuda yang lugu namun berani, yang membelaku saat beberapa preman pasar bermaksud untuk mengompasku. Ya, Marwan yang ceking itu, Marwan yang kurus itu. Bagaimana bisa aku melupakannya? Tapi, tunggu dulu. Marwan yang kukenal berbadan kurus ceking, sementara yang berdiri dihadapanku sekarang adalah seorang pemuda tegap dan tegar. Mungkinkah dia itu Marwan yang kumaksud?
    “Marwan?” tanyaku ragu.
    Dia menjabat tanganku, lalu mengayunkannya keatas dan kebawah dengan kuatnya, sampai terguncang badanku jadinya. Dia tertawa sejadi-jadinya, aku jadi risih melihat tatapan orang kepada kami.
    “Benar bang, aku Marwan.”
Aku tetap menatapnya dengan ragu, dan tampaknya dia mengerti akan hal ini.
“Ah, abang pasti heran melihat aku kan? Marwan yang dulu kurus kerempeng, sekarang telah berubah menjadi Marwan sang perkasa! Ya, mau gimana lagi bang, tuntutan profesi…”.
Nah, sekarang aku baru yakin yang berdiri didepanku itu memang Marwan yang kukenal. Karena aku selalu ingat kata-katanya yang khas tadi, ‘karena tuntutan profesi’. Kata-kata itulah yang selalu digunakannya untuk membela diri setiap aku memberi komentar akan penampilannya dulu sewaktu masih jadi pengamen yang amburadul, serampangan dan dekil. Langsung saja segala keraguan yang tersisa hilang, digantikan perasaan akrab dan kebahagiaan menemukan teman lama.
“Wah, hebat kau sekarang ya!”.kataku. “apa yang kau makan sampai bisa sebesar ini?” tanyaku bergurau.
“Ah, abang bisa saja”jawabnya.”Wah, sudah lama juga abang tidak kesini, sedang cari apa bang?”.
“Tidak. Aku tidak mencari sesuatu. Aku hanya kangen dengan pasar ini. Perusahan tempatku bekerja memberiku cuti, makanya aku bisa kesini.”
Dia tersenyum kecil. “Kalu begitu, bagaimana kalau kita ke kedaiku saja bang? “
“Ha? Sudah punya kedai juga kamu sekarang? Wah, hebat kau ya! Tidak mengamen lagi rupanya!”
“Kenapa tidak? Abang saja yang dulu kerjanya jadi pengangguran dan tukang goda anak gadis yang lewat, sekarang tampaknya sudah makmur dan punya pekerjaan. Jadi kenapa aku yang dari dulu memang sudah banting tulang, tidak boleh mendapat sedikit kenaikan tingkat kemakmuran?” jawabnya sambil memuji diri sendiri. Rupanya belum berubah juga dia. Tapi secara jujur harus kuakui, sikap narsisnya itu telah membuatnya menjadi orang yang selalu percaya diri, optimis dan pantang menyerah. Dia selalu menganggap apa yang orang bisa lakukan, dia juga bisa lakukan. Memang, narsis itu tidak baik, namun dalam kasusnya ke-narsis-anlah yang membuatnya masih tetap bertahan hidup sampai sekarang.
“Aku ada usul bang...” ucapnya tiba-tiba sambil menghentikan langkahnya. Aku yang berada disampingpun otomatis mengikutinya.
“Usul apa?” tanyaku heran.
“Abang kan sudah lama tidak kepasar ini. Bagaimana kalau kita keliling saja dulu. Lagipula sebenarnya aku sedang bekerja saat ini. Jadi, sekali mendayung dua tiga pulau dilewati. Abang bisa melihat-lihat pasar ini sementara aku dapat tetap mengerjakan tugasku. Bagaimana? Abang tidak terburu-buru kan?”
“Tidak, aku tidak terburu-buru” jawabku sambil menatap jam ditanganku. Masih jam 11.30, berarti waktuku masih banyak. Daripada dirumah bingung tak tahu apa yang akan dikerjakan, lebih baik aku ikuti saja sarannya. “Aku sih mau-mau saja. Tapi, apa benar tidak akan mengganggu perkerjaanmu? Lagipula, apa sih pekerjaanmu saat ini?” tantaku ingin tahu.
Dia hanya tersenyum penuh misteri. “Nanti Abang akan tahu sendiri. Ayo bang, ikuti aku ” ujarnya sambil bergegas melangkah kembali.
”Hei, tunggu aku ! ” ucapku setengah berteriak. Cukup cepat juga dia berjalan diantara kerumunan ini. Susah juga mengimbanginya.
***

    Akhirnya setelah sekian lama berjalan, sampailah kami didepan sebuah kedai. Kedai ini lumayan bersih, lantainya dari marmer, dindingnyapun dicat dengan warna yang cerah. Banyak orang yang keluar masuk kedai itu. Tampaknya kedai ini baru dibuka, karena aroma cat dan kilau kaca dan etalasenya masih kentara. Saat aku sedang mencari-cari papan nama kedai itu, Marwan berkata, ” Aku masuk dulu yang Bang ? sebentar kok. Abang lihat-lihat saja didialam, siapa tahu abang tertarik. Bereslah, nanti akan kuminta pemiliknya untuk memberikan diskon untuk abang.”. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan. Marwanpun menghilang kebalik pintu yang ada dibagian dalam, sementara aku sendiri mulai melihat-lihat barang yang terpajang dietalase. Anehnya, tak satupun barang yang kutemui disana. Yang ada hanya berupa kertas-kertas berisikan tulisan-tulisan. Saat kuperhatikan lebih seksama, kertas-kertas itu mirip sertifikat, atau yang sejenisnya.
    ”Ada yang bisa saya bantu pak ? “ tanya seseorang mengejutkan kebingunganku. Sepertinya dia pramuniaga disini, karena dia memakai semacam seragam.
    “Ah, cuma lihat-lihat saja. Tapi maaf, saya mau tanya, toko ini menjual apa ya?” tanyaku kepadanya. Dia hanya tersenyum, senyum standar para penjaja dagangan.
    “Bapak baru pertama kali kesini ya?” tanyanya. Aku mengangguk membenarkan dugaannya.
    “Memang bisa dibilang, kami juga baru membuka usaha ini. Pada awalnya, banyak juga yang kebingungan seperti bapak saat mereka masuk ketoko ini. Namun setelah mereka tahu, banyak dari mereka menjadi pelanggan tetap kami. Dan seperti bapak lihat, toko ini selalu ramai oleh pengunjung” katanya sambil tangannya mengarah kebelakangku. Saat kuikuti arah tangannya, memang terlihat orang-orang yang saling berdesakan. Bahkan tampaknya jumlah pramuniaga disini tidak sepadan dengan jumlah pengunjung yang datang. Sehingga tampak pemandangan dimana para pramuniaga tersebut kewalahan memenuhi permintaan para pembeli.
    “Nah, sekarang saya mau tanya. Bapak agamanya apa ya?” tanyanya tiba-tiba. Aku jadi semakin heran, kenapa dia sekarang menanyakan agamaku? Melihat aku hanya terdiam dia kembali bertanya,
“Maaf pak, saya tidak bermaksud apa-apa. Tapi apa yang saya tanyakan itu penting, agar nantinya saya bisa membantu bapak. Jadi, bapak agamanya apa?” tanyanya kembali dengan sopan.
“Islam...”jawabku masih tidak mengerti dengan arah pertanyaannya. Dia mengambil sesuatu dari sakunya, lalu mengenakannya kekepala. Saat aku perhatikan, ternyata benda itu adalah sebuah kopiah bulat yang terbuat dari rajutan benang. Setelah dia mengenakan kopiah itu, sikapnya tiba-tiba berubah drastis. Senyumnya makin mengembang, lalu dengan serta merta segera memelukku. Diguncangnya tubuhku dalam dekapannya. Aku hanya terdiam, tak menyangka reaksi yang diberikan oleh pramuniaga itu.
“Assalamualaikum, saudaraku. Semoga Allah selalu memberikan hidayah dan rahmatNya kepadamu. Semoga dilimpahkan kebahagiaan didunia dan diakhirat untukmu. Amin” lalu dilepaskan dekapannya, namun masih dengan bibir yang menyunggingkan senyuman. Aku jadi bingung juga menanggapi peristiwa yang baru saja terjadi.
“Waalaikum salam…” hanya itulah yang keluar dari mulutku. Lalu aku kembali terdiam kebingungan.
“Jadi apa yang bisa kubantu saudaraku? Ceritakanlah permasalahanmu, insya Allah, jika Dia menghendaki, aku akan berusaha menolongmu.” Tanyanya kembali sambil mengembangkan kedua tangannya.
Membantu? Membantu apa? Batinku. Apa yang harus aku utarakan? Apa yang harus aku lakukan? sementara aku tidak tahu bagaimana dia bisa menolongku, lagi pula sampai detik ini aku tidak tahu apa yang mereka jual. Jadi bagaimana mereka bisa menolongku?
“Ah, rupanya anda masih malu-malu” katanya lagi. “Baiklah, biar aku coba menerkanya. Saudara pasti sedang dirundung dengan kegelisahan ya?”
Dalam kebingunganku, aku hanya bisa mengangguk perlahan. Sekarang giliran dia yang mengangguk-anggukkan kepalanya, dia menatapku kasihan.
“Ya, pada jaman sekarang ini orang-orang selalu dirundung oleh berbagai permasalahan hidup. Hatinya gelisah, batinnya tak tenang. Selalu dahaga mencari setitik kedamaian. Tapi, sebenarnya itu semua tidak perlu terjadi jika seandainya kita mau kembali kepadaNya. Dia, sang Pencipta, yang rahmatNya melingkupi seluruh bumi dan langit.” nasehatnya kepadaku. Aku jadi semakin bingung, stress mendengar kata-katanya yang tak bisa kutebak kemana ujungnya. Tanpa memperdulikanku, dia dengan cekatan mengeluarkan beberapa helai kertas dari etalase dan memaparkannya dihadapanku. Aku hanya dapat memandangi kertas-kertas itu, lalu beralih memandanginya.
“Ini apa?” tanyaku lemah.
“Itu adalah jawaban dari segala permasalahanmu, saudaraku. Pilihlah salah satunya yang menurutmu paling cocok. Telitilah dengan seksama, agar kau nantinya tidak menyesal” jawabnya sambil mengangguk-anggukkan kepala. Penasaran, aku ambil satu kertas. Dibagian atasnya terdapat sebuah nama, Jalan ke Surga. Lalu ada ucapan salam, diikuti shalawat kepada rasul. Setelah itu ada bagian yang dikosongkan yang digaris bawahi. Dibawahnya dengan huruf yang lebih kecil dan dikurung, menerangkan bahwa bagian kosong itu diisi dengan nama. Nah, yang mengejutkan adalah bagian sesudah nama itu. Ada sebuah pernyataan bahwa si Polan, sebagai pemimpin dari organisasi jalan kesurga, dengan nama Allah, memberikan keringanan terhadap orang yang namanya dicantumkan pada bagian sebelumnya untuk melakukan ibadah sholat 1 kali sehari, tidak menjalankan puasa, dan tidak menunaikan zakat. Untuk keringanan yang diberikan tersebut, Polan sebagai ketua Jalan ke Surga meminta kepada orang yang namanya tercantum di sertifikat ini untuk mengakuinya sebagai utusan Allah, bersumpah setia padanya, mengikuti pertemuan yang dilakukan 2 kali seminggu, dan kewajiban membayar iuran sebesar dua ratus ribu rupiah setiap kali pertemuan. Dibagian bawahnya terdapat bagian tempat membubuhkan tanda tangan yang disampingnya terlihat tanda tangan dari Polan, yang mengaku sebagai rasul dan pemimpin dari Jalan ke Surga.
    “Ini…, ini apa?”tanyaku tak percaya.
    “Bapak masih belum mengerti?”
    Aku menggeleng, dia mengambil kertas yang kupegang.
    “Ini, saudaraku, adalah jawaban dari segala permasalahanmu. Kita berdua tahu, bahwa kita hidup di jaman yang menuntut kita untuk bekerja keras membanting tulang mencari sesuap makanan dan tempat berlindung. Nah, dengan menandatangani kertas ini, waktu saudara akan lebih banyak untuk bekerja. Anda tak perlu lagi pusing-pusing untuk beribadah 5 kali sehari, anda tidak perlu lagi berpuasa, anda tidak wajib lagi berzakat. Dengan mengakui Polan sebagai rasul anda yang baru, maka anda telah dibebaskan dari semua kewajiban tadi. Anda akan menghasilkan uang lebih banyak, tingkat kemakmuran andapun akan meningkat, dan tentu saja, anda masih dapat beribadah kepadaNya. Malah bisa jadi dengan ketekunan dan waktu anda yang tercurah sepenuhnya untuk mencari nafkah, anda akan menjadi orang kaya. Nah, yang dimuliakan Polan hanya meminta sedikit bagian dari penghasilan anda tersebut yang digunakannya untuk menyebarkan kabar gembira ini kepada orang lainnya yang belum mengetahuinya. Bagaimana, bapak mau yang ini?” ucapnya sambil kembali menyodorkan kertas itu kepadaku.
    Otakku serasa mau pecah mendengarnya. Alternatif apa pula ini? Otakku belum dipersiapkan untuk dapat menerima logika ekstrim yang ditawarkannya. Sejak kapan agama dapat ditawar-tawar? Bukankah agama adalah suatu perjanjian hidup dan mati antara Khaliq dan makhluknya? Bukankah agama berfungsi sebagai petunjuk kehidupan, seperangkat ritual dan pengetahuan yang bertujuan untuk menjaga manusia tetap dalam kemanusiaannya? Bukankah agama adalah petunjuk dan bimbingan yang diberikan kepada manusia agar tidak salah jalan? Jadi, sejak kapan agama yang begitu sakral telah berubah menjadi sesuatu yang dapat ditawar-tawar? Pikiranku bolak-balik tercampur aduk mencoba memahami apa yang terjadi, namun malangnya aku tidak bisa...
“Bagaimana saudaraku? Atau kau kurang berkenan dengan Jalan ke Surga?” tanyanya kembali. Sekarang tangannya dengan cekatan segera mengambil kertas-kertas lainnya,”Atau anda ingin yang ini? Ini berasal dari Kebenaran Sejati. Pemimpinnya adalah orang suci, wali Allah. Dia menawarkan pembebasan dari berbagai ritual yang selama ini kita kerjakan, karena dia telah bertemu dengan Allah, dan Allah memerintahkannya untuk menyampaikannya kepada manusia. Dia berkata bahwa sejatinya manusia itu adalah makhluk yang harus selalu ingat dengan Allah, ibadah hanyalah perbuatan. Yang penting adalah niat dan pemahaman. Dia tidak meminta banyak, selain sejumlah kecil uang dan pengakuan atas dirinya. Itu saja” lalu dia berikan kertas yang dipegangnya. Aku bagaikan robot, hanya menerima tanpa dapat berkata apa-apa, tanpa bisa berbuat apa-apa
“Atau bagaimana dengan yang ini? Tekhnik Pencerahan? Atau yang ini, Al Quran tersuci? Atau yang ini ? atau …. ” dia terus berbicara, sementara aku tidak bisa lagi mendengarkannya. Aku seakan menjadi tuli, sementara tulisan-tulisan yang ada dikertas yang aku pegang telah berubah menjadi aksara-aksara yang tidak aku mengerti, tidak aku pahami.
    “Maaf...” potongku. Dia segera berhenti.
    “Jadi bagaimana pak? Sudah menetukan pilihan?”
    “Tidak, tidak. Aku hanya ingin bertanya. Agama yang anda tawarkan tadi, agama-agama baru ya?”. Dia tertawa kecil mendengar pertanyaanku, aku bingung, apakah ada yang salah dengan ucapanku?
    “Ah, saya tidak menawarkan agama baru saudaraku. Apa yang saya jelaskan tadi adalah agama Islam! Tapi tentu saja dengan versi yang berbeda-beda”
    “Maksud anda?”
    “Semua tadi adalah Islam, namun dengan interpretasi yang berbeda-beda! Bukankah Islam adalah agama yang mengajarkan bahwa perbedaan itu adalah rahmat? Lagipula, sebenarnya semua agama itu sama. Karena seluruh agama mengajarkan kebaikan dan menjadikan kebaikan sebagai tujuan utama. Mengenai terjadinya perbedaan persepsi yang terjadi didalam diri manusia, itu tidak bisa dihindari. Lain kepala, lain pula pemikirannya.”
    “Semua agama sama?” tanyaku terkejut. “Dari mana pula datangnya pemahaman itu?”
    “Oh, itu sesuai dengan tuntutan jaman pak. Sekarang adalah jaman globalisasi yang menuntut setiap umat manusia untuk membuka dirinya. Sekarang adalah jaman yang menuntut setiap manusia untuk bersikap bebas, terlepas dari segala ikatan yang selama ini mengungkungnya. Ini juga berlaku untuk agama, segala ritual dan dogma-dogma harus dikaji ulang, karena semuanya harus disesuaikan dengan tuntutan situasi dan kondisi yang manusia hadapi pada jaman sekarang. Identitas lokal atau regional yang bersifat pribadi tidak diperlukan lagi. Teknologi dan ilmu pengetahuan diarahkan untuk membentuk suatu masyarakat universal dan identitas yang digeneralilasi, yaitu manusia universal. Semuanya harus dipandang dari sudut persamaannya. Dalam hal agama, bukankah semua agama menghendaki agar setiap umatnya menjadi baik dan mengajarkan kebaikan ? ” terangnya panjang lebar.
    ”Jadi dimana letak kebenaran sebuah agama ? ” tanyaku. Suaraku sudah mulai meninggi yang membuat beberapa pengunjung yang lainnya mulai memperhatikan perdebatan kecil kami
    “Maksud Bapak?” tanyanya tidak mengerti.
    “Maksud saya, bagaimana lagi kita bisa yakin akan kebenaran agama yang kita anut, jika ritual dan dogma yang merupakan identitas dari agama tersebut telah diotak-atik? Jadi dimana letak posisi nabi sebagai pembawa agama?”
    “Nah, disitulah letak kesalahan kita selama ini” jawabnya mantap. “Kita selalu merasa takut untuk menggunakan logika kita untuk memodifikasi agama yang kita anut. Walaupun maksud dari pemodifikasian tersebut adalah untuk kebaikan agama itu sendiri, agar sesuai dengan perjalanan peradaban dan tuntutan kemajuan teknologi dan pengetahuan.”
    “Tunggu dulu, sejak kapan agama, dalam hal ini Islam, menghambat kemajuan? Bukankah pada dasarnya agama adalah seperangkat perundang-undangan, norma-norma, nilai-nilai kemanusiaan, yang pada akhirnya menjadi tuntunan bagaiamana seharusnya manusia itu hidup dan bersikap, sehingga dengan semuanya itu akan terbentuk sebuah peradaban kemanusiaan yang lebih baik? Saya berbicara bukan tanpa dasar. Karena sejarah membuktikan Islam pernah mengangkat para umatnya untuk memiliki peradaban yang modern dan maju pada masa lampau.” bantahku
    “Ah, ternyata bapak juga terjebak disana. Bapak terpasung dalam nostalgia masa emas abad lampau. Pak kita hidup pada masa sekarang, bukan masa lalu. Lagi pula, jika memang peradaban lampau itu hebat, kenapa itu semua mesti punah? Kenapa peradaban yang bapak banggakan tersebut hilang ditelan jaman?” jawabnya dengan sinis.
    “Peradaban itu hancur karena orang-orang seperti anda!!!” jawabku setengah berteriak. “Peradaban itu hancur karena para umatnya telah mulai meragukan dan meninggalkan kebesaran ajaran agamanya, menggantinya dengan pengejaran kekuasaan dan kekayaan. Mereka menjadi terlena, sehingga membuka lobang-lobang yang akhirnya digunakan oleh para musuh agama ini untuk menghancurkan peradaban tersebut.”
    “Jadi kenapa kita masih terpuruk pada jaman sekarang?” jawabnya dengan sura dingin.
    “Karena kita tak mau merubahnya. Daripada mencari dan berusaha untuk menerapkan ajaran agama seusai dengan tuntunan yang diberikan oleh Rasul, kita lebih memilih untuk mempertanyakan kebenaran ajaran agama. Kita lebih memilih untuk menyetujui pendapat orang-orang yang jelas-jelas tidak ingin agar umat ini kembali besar seperti yang pernah dicapainya pada jaman lampau, yang mengatakan bahwa ajaran agama kita telah menjadi usang, kuno dan tidak sesuai lagi dengan kemajuan jaman. Kita lebih memilih untuk tidak menggunakan logika kita dalam memahami berbagai dogma dan kebenaran yang terdapat dalam ajaran agama, kita malah menggunakan logika tersebut untuk mengotak-atik perangkat peraturan dan tuntunan yang telah diberikan Allah kepada kita yang disampaikannya kepada rasul agar kita dapat meneladaninya. Logika itu terlalu liar, jika tidak dikontrol dengan benar. Kalau itu yang terjadi, maka bukan kedamaian yang kita dapatkan, malah kegelisahan dan ketidaktenangan dalam hidup.”
    “Ah, anda ini terlalu konserfatif!!!” bentaknya dengan kesal kepadaku. “Anda ternyata seorang fundamentalis, yang tak ingin maju. Anda ini anti globalisasi, anda ini musuh manusia-manusia universal!!!”
    “Ya!!! Saya lebih memilih dipanggil fundamentalis, saya lebih memilih dipanggil konserfatif. Daripada ingin disebut modern dan maju, dan melakukan bunuh diri eksistensi!!!”
    “Fundamentalis!!!” teriak seseorang yang ada dibelakangku.
    “Kuno !!!, anti kemajuan !!! teroris !!!” sambut yang lain.
Aku jadi tersudut menghadapi teriakan mereka semua. Saat itu Marwan keluar, “Heii ada apa ini! Bang, kenapa bang?” teriaknya dengan lantang, menciutkan hati yang lainnya.
    “Marwan, aku sudah muak berada disini!!! Ayo kita pergi”kataku sambil segera berlalu. Sementara Marwan mengikuti dari belakang.
    “Ada apa bang?” tanyanya saat dia telah berjalan disisiku. Akupun menceritakan semua peristiwa yang terjadi.
    “Jadi bagaimana menurutmu?” tanyaku meminta pendapatnya.
    “Ah, biasa saja itu bang. Jangan diambil hati.” Hanya itulah jawaban yang diberikannya. Tampaknya dia tidak begitu peduli dengan urusan ini.
    “Lebih baik bang ikut aku saja. Akan aku ajak abang menuju tempat yang abang pasti akan suka”
    “Kemana?” ucapku malas-malasan.
    “Ikut sajalah! Disana abang akan bertemu dengan banyak wanita cantik”
    “Maksudmu?” tanyaku kembali
    “Akan aku ajak abang kesebuah kedai yang memperjual belikan wanita! Mulai dari yang masih belia atau yang sudah setengah baya. Semuanya ada disana.bagaimana?”
    “HA !!!??” ucapku tak percaya.
    “Ah, ternyata memang abang telah lama tidak kepasar. Nanti setelah dari sana, akan kuajak abang kekedai yang menjual ijazah palsu. Abang bisa memilih tingkatnya. Apakah S1, S2, D3 atau yang lainnya. Abang juga bisa memilih tempat kelulusan abang.”
Dia berhenti sebentar melihatku. Mungkin karena aku tetap dalam keheninganku, dia melanjutkan,”atau abang ingin mencoba memiliki anak? Aku punya kenalan dikedai yang memperjual belikannya, dari ras apapun dan dari umur manapun! Atau....”
    “Cukup,cukup.”potongku. “Marwan, apa sebenarnya pekerjaanmu? Kenapa kau kenal dengan mereka semua?”
    “Ah, pekerjaan yang tidak terlalu penting, bang. Memang tidak terkenal, tapi cukup untuk memberikan kemakmuran yang lumayan besar”
    “Sudah, sudah. Katakan saja apa pekerjaanmu! Otakku sudah cukup pusing dengan semua yang kualami!”
    “Aku bekerja sebagai oknum, bang. Aktor dibelakang layar. Jadi, karena terus berada dibelakang layar, aku memang tidak akan pernah terkenal. He…he…he…” jawabnya dengan enteng.

ORANG GILA

    Kemarin, kampung kami baru kedatangan tamu. Namun tamu yang satu ini adalah tamu yang tidak diundang. Ya, ada orang gila baru dikampung kami. Entah dating dari mana, namun yang pasti dia telah “tinggal” di bekas poskamling yang ada dipasar kampung kami.Dia tidak muda tidak juga tua, separuh baya tepatnya. Mukanya yang tegas ditutupi oleh tebalnya debu disana sini, sebagaiamana juga bajunya yang lusuh dan bau. Seperti orang gila yang lainnya, rambutnya acak-acakan, mempunyai cambang yang tak teratur, ditambah jenggot yang tumbuh meranggas. Tapi ada yang unik pada orang gila ini, walaupun keadaannya begitu menyedihkan tapi tak mampu untuk menutupi sorot matanya yang tajam dan cemerlang.
    Tentu saja yang senang akan kedatangan orang gila ini dikampungku adalah anak-anak. Karena mereka dapat “mainan” baru. Banyak anak-anak yang berkerumun mengerubungi, walau tetap menjaga jarak, sambil tertawa-tawa dan mengolok-olok orang gila itu. Sepertinya orang gila itu tak terganggu dengan mereka, malah mungkin merasa senang. Karena senyum dan tawanya ikut berderai saat anak-anak itu tertawa, tak peduli bahwa yang ditertawakan anak-anak itu dia. Kalau anak-anak itu mengoloknya sambil bernyanyi, dia juga ikut bernyanyi. Kalau anak-anak itu bertanya, dia menjawab. Kalau anak-anak itu mengusiknya dengan sepotong ranting kecil, dia malah tertawa. Kalau anak-anak itu menari, dia juga ikut menari.
    Secara garis besar, tak ada yang terganggu dengan kehadirannya, namun dua hari sesudahnya itu berubah. Orang gila itu mulai berkelana keseluruh pelosok kampung kami. Selain dipasar, dia sekarang juga sering terlihat di sawah-sawah penduduk sambil duduk ongkang-ongkang kaki di dangau yang sedang tak dihuni pemiliknya. Atau terkadang dia terlihat sedang berselonjor diluar kedai kopi sambil menonton acara yang ada di tivi kedai itu. Atau dilain kesempatan dia terlihat sedang bernyanyi-nyanyi kecil di salah satu sudut lapangan sepak bola saat para pemuda sedang berlatih sepak bola. Awalnya dia memang tidak mengganggu, namun lama-kelamaan segala tingkah lakunya mulai meresahkan masyarakat.
    Seperti kemarin, disalah satu kedai kopi penduduk, dia mulai membuat ulah. Tanpa sebab apa-apa, dia yang awalnya dengan tenang menonton tivi, bangkit dan mulai menanggalkan pakaiannya satu-persatu. Sehingga dalam waktu lima menit kemudian dia telah bertelanjang tanpa ada satu helai benangpun melekat di badannya. Tentu saja orang-orang yang ada dikedai menjadi kaget. Ada yang hanya tertawa-tawa, ada yang memalingkan muka jengah, tapi tak sedikit pula yang menjadi berang dan mulai mencaci maki orang gila itu. Narsih, pemilik kedai itu tergolong pada orang-orang yang merasa kasihan. Bergegas dia menuju kedalam rumahnya dan tak lama kemudian keluar dengan sebuah pakaian bekas lengkap. Lalu dia menyuruh anaknya Udin untuk menyerahkan pakaian itu pada si orang gila. “Iba kita melihatnya…,”katanya sambil menggumam prihatin. Udinpun memberikan pakaian itu pada si orang gila.
Namun anehnya si orang gila menolak baju yang diberikan oleh Udin
“Tidak usah, bajuku masih ada…”katanya menolak. Orang-orang semakin heran, termasuk Saman, salah seorang dari pemuda kampung kami.
“Jadi kenapa kau buka pakaianmu hah? Kenapa kau telanjang” kata Sarman jengkel.
“Orang gila itu bagai tak memperdulikannya. Bahkan sekarang secara perlahan-lahan dia mulai menari.
“Oi, orang gila!!! Kenapa kau tidak menjawabku? Kenapa malah sekarang kau menari? Kau mau kuhajar ya?,” kata Sarman. Dial lalu bangkit dari duduknya dan begegas menghampiri orang gila itu. Saat tinjunya hamper mengenai wajah orang gila itu, orang gila itu berkelit. Sambil menaikkan salah satu alisnya dia berkata,
“Kenapa kau mau memukulku? Apa salahku?”
“Setan! Dasar orang gila! Sudah jelas salah masih bertanya juga!” jawab Sarman makin gusar. Dikejarnya orang gila itu dengan maksud untuk menghajarnya kembali, namun seperti tadi ternyata orang gila itu mampu berkelit dan menghindari semua serangan Sarman.
“Apa salahku? Apa salahku? Kenapa kau mau memukul diriku?” katanya berulang-ulang sambil berkelit. Orang-orang jadi tertawa melihat tingkah mereka, sementara Sarman semakin kalap, menyerang membabi buta. Namun sayangnya tak satupun serangannya itu mengenai sasaran. Akhirnya dia kehabisan napas, dia membungkuk memegangi lututnya terengah-engah lelah. Orang gila itu berhenti, lalu perlahan-lahan sambil tetap menjaga jarak dia dekati Sarman.
“Apa salahku? Kenapa kau mau memukul diriku?” tanyanya lagi pada Sarman. Saat itu tak terlukis gusarnya Sarman terhadap orang gila itu, namun apa daya, dialah pihak yang dikalahkan. Maka dari sela-sela napasnya yang terengah-engah, dia menjawab
“Dasar orang gila!! Kenapa kau masih bertanya juga? Bukankah jelas apa salahmu?”
Orang gila itu kebingungan, dia kembali bertanya’”Apa salahku?”
“Setan! Kau salah karena kau telanjang! Dasar orang gila tak tahu malu! Kalau kau ingin telanjang, jangan disini, karena kami masih waras, karena kami masih tahu dengan malu!!” bentak Sarman.
Orang gila itu sesaat tercenung, kemudian sambil menaikkan alisnya dia berkata,
“Lho, bukannya kalian suka dengan ketelanjangan? Buktinya kalian suka melihat adegan-adegan dimana orang-orangnya telanjang!” Orang gila itu berkata sambil telunjuknya mengarah ketelevisi yang saat itu sedang menayangkan sebuah acara yang berisikan artis-artis dengan pakaian yang terbuka disana-sini.
“Bukan, kau salah! Kami tidak suka melihat orang-orang telanjang!” jawab Sarman lagi.
“Lalu bagaimana dengan itu?” jawab si orang gila sambil kembali menunjuk kearah televise. Sekarang ditelevisi sedang menayangkan acara hiburan, seorang artis wanita tampak sedang bernyanyi sambil menari dengan erotis dan lagi-lagi dengan pakaian yang minim dan ketat.
“Itu bukan telanjang! Tapi itu seni! Ah, bagaimana kau mengerti dengan seni? Sampai berbusa-busapun aku berbicara aku yakin kau tidak akan mengerti!”
Sekarang tampak si orang gila tersenyum sinis mendengar jawaban itu. Dengan suara yang datar dia berkata,”Memang tak perlu kau jelaskan, karena aku sudah tahu bagaimana sebenarnya kalian. Kalian tak lebih dari manusia-manusia pemuja kelamin yang berlindung dibalik kata-kata seni dan keindahan! Kalian mengaku sebagai orang-orang yang memiliki nilai dan norma yang tinggi, sementara kalian bersorak kesetanan saat melihat seorang wanita memamerkan auratnya. Kalian tak lebih baik dari aku, kalian malah jauh dibawahku…”
Setelah itu dia memungut pakaiannya yang terserak ditanah dan segera berlalu dari tempat itu. Sementara orang-orang yang ada dikedai itu untuk sesaat hanyut dalam keheningan.
“Ah, jangan terlalu dipikirkan. Dia kan gila” kata seseorang memecah kesunyian.
“Ya, mengapa harus kita dengarkan kata-kata orang gila? Apa yang dia tahu? Kalau dia memang hebat, kenapa dia gila? Masak kita mau diajari oleh orang yang berpikir saja tidak bisa?” sambut sebuah suara yang lain. Merekapun mengangguk-angguk mengiyakan. Dan akhirnya situasi kembali normal serti sediakala.
Itu salah satu tingkahnya yang menjengkelkan. Dilain kesempatan, dia kembali membuat onar. Kali ini tempatnya dimesjid.
Ceritanya, saat itu Amin yang menjadi garin mesjid kampung kami, hendak menjalankan tugasnya disuatu pagi. Seperti biasa, sebelum azan dia selalu memutar kaset-kaset pengajian. Namun saat dia hendak melaksanakan niatnya itu, dia menjadi terkejut karena ternyata tape mesjid telah hilang! Lengkap dengan koleksi kaset-kaset pengajian dan ceramahnya sekalian. Aminpun menjadi panik, dia mencari keseluruh bagian mesjid. Jika tape itu tak segera ditemukan, alamat dia akan celaka. Sebab harga tape itu cukup mahal, sumbangan dari Haji Imran yang jadi juragan padi dikampung kami. Ditambah kemarahan para pengurus mesjid, bisa-bisa dia diusir dari mesjid itu. Lalu jika dia diusir, dimana lagi dia akan tinggal?
Maka Amin dengan panik mencari kesana-kemari. Sampai dibagian luar mesjid tampaklah olehnya orang gila itu sedang menduduki sesuatu. Saat diperhatikannya, ternyata yang diduduki itu adalah tape mesjid yang hilang. Saat dia hendak melangkah lebih jauh, kakinya menyentuh sesuatu yang dingin. Saat dia memperhatikan apa yang barusan dinjaknya, diapun berteriak ketakutan. Ternyata lantai luar mesjid saat itu telah digenangi darah!. Amin menjadi semakin ketakutan saat matanya memandang kesekeliling, dibeberapa tiang bagian luar sekarang tergantung bangkai-bangkai binatang! Ada bangkai ayam, bangkai kucing, bangkai anjing, dan bangkai yang lainnya. Dia segera berlari kedalam mesjid menuju kamarnya, menguncinya dari dalam dan tak berani lagi untuk keluar.
Karena tindakan Amin tersebut, pada pagi itu tidak terdengar suara azan subuh dari mesjid. Para jemaah yang biasa kemesjid menjadi heran dengan hal tersebut. Maka mereka bergegas menuju mesjid untuk mengetahui apa yang terjadi, sekaligus tentu saja untuk menunaikan sholat subuh. Namun saat mereka sampai dimesjid kebanggaan kampung kami itu, reaksi mereka tak jauh berbeda dengan Amin. Para wanita terpekik ketakutan, sementara lelakinya gemetar kecut. Tak ada yang berani mendekat, kecuali satu orang, pak Haji Nur yang biasa menjadi imam dimesjid kami itu. Perlahan-lahan namun pasti dia bergerak mendekati orang gila tersebut. Sementar yang didekati masih asik dalam lamunannya sambil sesekali tampak menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Permisi, saudara. Apakah saudara yang membuat mesjid kami seperti ini?” Tanya pak Haji dengan lembut, tidak ingin membuat si orang gila tersebut marah.
Siorang gila tersentak dari lamunannya, dia menoleh ke pak Haji, lalu sambil tersenyum ramah dia menjawab,”waalaikum salam. Benar pak, sayalah yang berbuat”
Pak haji untuk sesaat merah mukanya, namun segera dapat menguasai diri. Dia kembali bertanya,
“Maaf, saudara, kenapa saudara berbuat demikian? Apa maksud saudara mengotori mesjid kami dengan darah dan bangkai-bangkai ini? dan kenapa saudara mencopot tape mesjid dari tempatnya?”
“Ah, aku tidak pernah mengotori mesjid. Mesjid itukan tempat suci, mana berani aku mengotorinya? Apalagi mengambil sesuatu dari mesjid, wah bisa celaka aku seumur-umur!” gumamnya sendiri.
“Tapi saudara melakukannya!”, jawab pak Haji. “Tadi kamu mengaku sendiri bahwa kamulah yang mengotori lantai mesjid kami dengan darah. Ditambah, anda sedang menduduki tape kepunyaan mesjid ini. “
Orang gila itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Pak haji, pak haji. Kan sudah saya saya bilang saya tidak berani mengotori mesjid, apalagi mengambil barang-barangnya. Sementara, yang saya akui tadi, memang saya yang melumuri lantai bangunan itu dengan darah. Dan memang saya mengambil sesuatu dari banguan tersebut.”
“Jadi, maksudmu…”, gumam pak haji
“Ya, bangunan itu bukanlah mesjid!”
Terdengar ucapan istighfar dari mereka yang berada disana. Sementara pak haji sendiri terlihat memegang dadanya. Mukanya mengadah kelangit, mulutnya berkomat-kamit. Sedangkan orang gila hanya melihat keheranan atas reaksi yang terjadi.
“Ada apa? Ada bintang jatuh ya? Ada apa dilangit?”, diapun ikut-ikutan memandangi langit. Pak haji yang melihat itu, menjadi gusar, amarahnya tergambar diwajahnya yang berubah merah padam.
“Hei, orang gila! Apa maksudmu dengan ucapanmu itu!”, hadrdik pak haji dengan geramnya. Siorang gila terkejut. Dan seperti anak kecil dia memasang wajah cemberut sambil menghentak-hentakkan kakinya.
“Kenapa semua orang di kampung ini jahat-jahat semua? Kenapa aku selalu dihardik dan dihina? Apa salahku?”.
Dia memandangi mesjid yang telah dikotorinya dengan darah.
“Kenapa aku dimarahi? Padahal aku hanya ingin menolong kalian”, sambung orang gila itu. “Aku melihat dan mendengar bahwa kalian berkumpul disana tak lebih membahas tentang kematian dan negeri keabadian. Aku mendengar kalian selalu membahas dan berdoa agar mereka dimatikan dengan keadaan yang sebaik-baiknya. Kalian selalu membicarakan tentang perniagaan kematian, dimana amal yang kita kumpulkan akan ditukarkan dengan karcis menuju surga saat mati nanti. Bahkan pada saat-saat tertentu mereka mengumumkan tentang berita kematian warga kalian diatas mimbar yang ada didalam bangunan itu. Jadi, menurutku bangunan itu adalah bangunan kematian, karena itulah aku gantungkan bangkai-bangkai itu dan melumuri darah dilantainya agar kalian menjadi lebih khusuk saat kalian memikirkan kematian nantinya.”
Semua orang, tak terkecuali pak haji, hanya terdiam terpana mendengar jawaban tersebut. Orang gila itu kembali berkata,
“Sekarang kenapa aku dituduh telah mengotori mesjid? Sungguh tuduhan yang amat kejam! Tidak, bangunan itu bukanlah sebuah mesjid, karena mesjid adalah tempat untuk beribadah sekaligus tempat dimana terdapat kajian terhadap agama. Sementara agama itu berbicara tentang hidup, agama itu berfungsi untuk menghidupkan hidup manusia. Agama menuntun pemeluknya bagaiamana seharusnya dia bertingkah laku, agama mengajarkan bagaiamana seseorang seharusnya bertindak, agama menjaga seorang manusia agar tidak mati dalam hidup mereka. Jadi, bangunan itu bukanlah mesjid dimana ajaran sang pemuda agung tentang wahyu Allah dikumandangkan, bangunan itu adalah sebuah rumah duka dimana kematian selalu menyelubungi setiap segi bangunannya”
“Orang gila!!!”,bentak pak haji tak mampu lagi menahan emosinya. “Otakmu saja kurang waras, bagaimana pula kau pantas untuk memberikan kami ceramah tentang bagaiamana seharusnya kami beragama?”
Orang gila tertegun, memandang heran kea rah pak haji, lalu mengitarkan pandangannya kesekeliling. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, dan berjalan menjauhi mereka sambil berkata,
“Ah, sedih hatiku mendengar tuduhan-tuduhan kejam ini dari lisan mereka-mereka yang mengaku sebagai para calon penghuni sorga. Sebenarnya mereka tidak jauh berbeda dibandingkan dengan diriku, malah mereka sebenarnya jauh lebih buruk.”
Begitulah, dari hari kehari, orang gila itu menebar kekacauan disana-sini. Akhirnya penduduk pun bersepakat, agar tidak ada lagi gangguan, orang gila itu harus dilenyapkan dari kampong ini. Apakah itu berarti diusir, dibuang ketempat lain, atau bisa juga dibunuh. Semuanya nanti tergantung pada situasi. Maka, penduduk kampong berkumpul dan mulai mencari orang gila itu kesetiap sudut kampong. Namun anehnya dia bagai menghilang ditelan bumi. Sampai pada suatu saat, seorang pemuda dengan tergopoh-gopoh berlari menghampiri mereka dan mengatakan bahwa orang gila itu sedang berada di gerbang kampong. Parahnya lagi, orang gila itu tidak sendirian, dia ditemani oleh anak-anak dari kampong ini.
Maka penduduk kampungpun bergegas menuju gerbang kampong. Kali ini orang gila itu telah berbuat keterlaluan, tak ada hukuman lain yang pantas selain dibunuh. Namun saat mereka sampai digerbang kampong, mereka melihat orang gila dan anak-anak mereka sedang menari berputar-putar dengan orang gila berada paling depan. Mereka seakan sedang melakukan ritual tertentu, bernyanyi disertai dengan gerakan-gerakan ritmis yang mampu untuk menghipnotis penduduk kampong sihngga tidak dapat bergerak dari tempat mereka berada. Mereka hanya dapat memperhatikan yang sedang terjadi tanpa dapat melakukan apa-apa.
Saat rombongan orang gila dan anak-anak itu melintasi batas kampung, orang gila itu menoleh kebelakang, kearah warga, sementara anak-anak terus berjalan menjauh. Orang gila itu tersenyum sinis.
“Ketahuilah, bahwa kerusakan yang telah kalian lakukan selama ini telah keterlaluan. Maka atas nama kemanusiaan, anak-anak ini terpaksa aku bawa, agar nantinya mereka tidak tercemar dengan perilaku-perilaku kalian yang memalukan. Jangan anggap ini adalah sebuah perpisahan, tapi anggaplah ini sebagai berkah. Karena nantinya anak-anak ini akan hidup dalam kehidupan yang seharusnya. Sebenarnya kalian tidaklah lebih baik dibandingkan dengna diriku, malah kalian lebih buruk”
Setelah berkata demikian, orang gila itupun membalikkan badannya, berjalan kearah anak-anak yang telah mendahuluinya.

NEGERI BANDIT

“Kau yakin mau melakukan ini?” tangannya tiba-tiba menggenggam bahuku dengan cukup keras.
“Tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa” jawabku. Kulepaskan tangannya dan menatap matanya. “Jangan takut, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Lagipula, bukankah negeri yang akan kita tuju adalah negeri impian? Dimana segala impian dan cita-cita dapat diraih?”
Dia hanya diam, namun dari sorot mata jelas terlihat kekhawatiran yang berkecamuk di kepalanya. Ini harus segera diselesaikan, agar natinya tidak menghambat misi ini.
“Bolehkah aku bertanya padamu?” tanyaku sambil mengajaknya duduk.
“Apa?” jawabnya pendek.
“Kau masih ingat tujuan perjalanan ini kan? Nun jauh dibalik cakrawala sana orang-orang kita sedang menunggu kita. Kelangsungan hidup negeri kita sedang dipertaruhkan, dan kitalah yang terpilih untuk menjemput obatnya kenegeri itu! Jadi tidak ada tempat untuk keragu-raguan. Ditangan kitalah terletak berhasil atau tidaknya misi ini”
“Maksudmu?” sambutnya pendek.
“Begini”. Kucari kata yang tepat agar nantinya dia tidak tersinggung, agar nantinya dia tidak merasa sebagai pihak yang menghalang-halangi misi ini. “Aku tahu bahwa kau, sebagaimana diriku, terpilih dari sekian banyak orang untuk mengemban misi ini. Kau terpilih karena kau dinilai sebagai salah satu putra terbaik yang pernah dimiliki oleh bangsa kita. Nah, tidak seharusnya engkau, sebagai orang yang terpilih dan dipercaya oleh negeri kita, mempertanyakan manfaat dari perjalanan ini untuk meminta obat dari mereka yang ada dinegeri itu” kataku sambil menunjuk gerbang negeri yang akan kami tuju. Memang, negeri itu sudah dekat. Mungkin hanya perlu beberapa langkah lagi untuk mencapainya.
“Ditambah lagi “ sambungku. “Bukankah negeri itu terkenal sebagai negeri yang makmur, beradab, berteknologi tinggi dan mempunyai kepribadian yang kuat? Jadi kenapa kau mempertanyakan integritas mereka? Kurasa memang sudah semestinya kita meniru mereka, belajar dari mereka, berusaha menjadi mereka”
“Entahlah,”jawabnya pendek. Matanya memandang kosong kelangit.
”Apa maksudmu ? ”
“Entahlah, aku tidak yakin!” sekarang dia menatapku dengan tajam.
“Dengar, aku tidak yakin dengan apa yang sedang kita kerjakan saat ini. Aku rasa kita telah berbuat kesalahan dengan mendatangi mereka!” katanya dengan kesal.
“Tunggu dulu!” kataku.” Kalau memang kau tidak setuju dengan misi ini, lalu kenapa kau tidak mengatakannya dulu saat kita akan memulai perjalanan ini? Sehingga kita tidak sia-sia jauh-jauh melakukan perjalanan ini?”
“Sudah!!!” teriaknya. “Tapi tak ada yang peduli! Mereka tetap menyuruhku untuk melakukan perjalanan ini”
“Oh, jadi maksudmu karena pendapatmu tidak diterima, maka kau merasa bahwa misi ini tidaknya seharusnya dilakukan? Bukankah tindakan seperti itu kekanak-kanakan?”cibirku.
“Hah, ternyata kau sama saja dengan mereka yang begitu tergesa-gesa dan mengejar sebuah utopia”
“Benarkah?” potongku. “Baik, anggap aku salah, tapi tolong kau tunjukkan dimana salahku” tantangku.
“Dengar, dengarkan baik-baik!” jawabnya. “Pertama, memang benar negeri kita sekarang sedang sakit. Tapi apakah itu berarti kita harus dengan kalapnya menerima obat yang ditawarkan orang tanpa peduli apakah obat itu memang cocok dengan penyakit yang sedang kita derita? Bukankah tidak mungkin bahwa obat yang mereka tawarkan tak lebih dari racun, yang tujuannya untuk membunuh kita agar pada nantinya mereka dengan leluasa mengacak-acak rumah kita dan menjarah segala isi rumah kita?”
“Ah, kurasa kau hanya melebih-lebihkannya saja” jawabku sambil tertawa kecil. “Ternyata kau hanyalah seorang paranoid yang suka mengeksploitasi sebuah masalah”
“Benarkah aku berlebih-lebihan? Ataukah aku hanya ingin bersikap rasional dan hati-hati? Memang, curiga bukanlah sikap yang dianjurkan, tapi bukankah percaya buta adalah suatu tindakan bunuh diri?”
“Ha…ha…ha… kau hanya membesar-besarkan masalah ini saja” tawaku geli sambil menepuk bahunya, namun dia segera menepis tanganku.
“Siapa bilang ini masalah yang kecil? Ini memang masalah yang besar! Keberlangsungan negeri kita selanjutnya bergantung atas apa yang akan kita lakukan hari ini!” tegasnya.
“Lagipula, anggaplah kalau mereka memang dengan tulus ingin menolong kita. Dan anggaplah kalau mereka memang ingin memberikan kita obat. Namun satu hal yang sering kita lupakan, dalam permasalahan ini kitalah yang lebih tahu apa yang sebenarnya kita perlukan. Belum tentu obat yang mereka berikan cocok dengan kita. Belum tentu saran yang mereka anjurkan sesuai dengan kondisi kita. Yang aku takutkan, negeri kita bukannya tambah sehat, malah menjadi lebih sekarat dan pada akhirnya hancur terlupakan.”
Dia berhenti sebentar untuk sekedar mengambil napas. Lalu melanjutkan, “Ditambah lagi fakta bahwa negeri yang akan kita tuju ini tidaklah sehebat yang kau kira. Predikat dan kredibilitasnya tidaklah setinggi yang kau bayangkan. Sejarah mencatat, selain sebagai sebuah negeri yang selalu berkoar-koar tentang persamaan derajat, disisi lain mereka adalah bangsa yang suka menindas dan memaksakan kehendaknya terhadap negeri lain. Mereka juga adalah sebuah negeri yang selalu mengatasnamakan kesejahteraan dan kemakmuran bersama, sementara dia sendiri adalah pencetus dan penyokong dari kapitalisme global yang selalu menghisap tenaga bangsa kita dengan harga yang murah untuk berjalannya roda-roda industri konsumerisme mereka”
Dia memandang ke ujung cakrawala, dimana negeri dan bangsa kami tengah menantikan kami, sekarat oleh luka-luka disekujur tubuhnya.
“Andai saja kita mau menggunakan sedikit saja logika, dan bukannya emosi sesaat, maka tentulah masalah ini tidak akan menjadi begitu rumit dan kompleks”
“Maksudmu?” tanyaku.
Dia terlihat agak sedikit tenang sekarang. Yah, mungkin saja dia hanya ingin didengar segala keluh kesahnya. Mungkin dia hanya mencari wadah untuk menumpahkan segala kekesalannya. Baiklah, aku akan menjadi wadah itu, lalu setelah semua ini selesai, tentunya misi ini akan dapat segera di lanjutkan.
“Maksudku begini, memang benar kita sedang sakit. Tapi daripada kita bersikap histeris dan menerima apa saja yang ditawarkan kepada kita, bukankah lebih baik jika kita mencari tahu dulu apa penyebab penyakit kita selama ini, barus setelah itu jelas apa obat yang kita perlukan. Dengan begitu segala salah kaprah yang terjadi saat ini dapat dihindari. Tidak terjadi keracunan, karena memakan obat flu untuk mengobati penyakit kanker yang sedang diidap”
Aku bingung, apakah harus tertawa atau tidak mendengar kata-katanya yang terakhir barusan. Karena aku tidak tahu apakah dia bermaksud untuk berkelakar atau tidak.
“Jadi, menurutmu apa sakit yang tengah diderita bangsa kita?” tanyaku.
“Ah kau ini!”,jawabnya. “Sekarang kita tidak sedang membicarakan itu. Yang kita permasalahkan sekarang adalah kemungkinan telah salah langkahnya kita dalam melakukan perjalanan ini”
“Oh, tidak bisa begitu”, sambutku. “Kau tadi mengatakan bahwa seharusnya kitalah yang mencari sendiri apa penyakit yang sedang bangsa kita alami. Namun sekarang kau mengaku bahwa kau tidak tahu. Bukankah itu sebuah kontradiksi?”.
“Teman. Masalahnya, persoalan yang sedang dihadapi telah begitu kompleks. Sehingga diperlukan waktu untuk merunutnya kembali menuju akar permasalahannya. Kita tidak bisa sembarangan mengira-ngira, lalu memberikan penilaian dan penafsiran dangkal yang hanya akan menhasilkan salah kaprah dan salah paham. Setiap orang punya versi sendiri-sendiri, namun bagaiamanpun juga, setiap persoalan haruslah diberikan kepada para ahlinya. Jangan sampai kita yang tidak mempunyai pengetahuan akan suatu hal ikut-ikutan menyampaikan sebuah pemecahan, karena pada akhirnya bukannya membantu, malah hanya akan memperburuk keadaan.”
“Ah, kau terlalu bertele-tele! Apa sebenarnya yang ingin kau katakan? “ potongku.
Dia tertegun sesaat, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatapku
“Kenapa tidak ada lagi kesabaran ? Mengapa setiap orang mengharapkan suatu pemecahan instan? “
“Tentu saja! Karena kita telah cukup bersabar selama ini! Aku telah muak dengan carut-marutnya negeri kita, sebagaimana orang-orang lain sama muaknya denganku melihat keadaan yang terjadi. Jadi, daripada kita duduk bersama untuk berbicara ini itu, yang tentunya akan memakan waktu yang amat sangat lama, bukankah lebih baik kita mencontoh, atau lebih tepatnya meminta tolong mereka yang telah mengalami penyakit ini terlebih dahulu untuk memberikan resep mereka kepada kita agar perubahan dapat segera terealisasi?”
“Tapi belum tentu obat yang mereka sarankan cocok dengan kita!”
“Hei, setidaknya kita telah mencobanya bukan?” jawabku.
“Lalu, jika seandainya memang tidak cocok?” tanyanya kembali
“Mudah saja, kita cari ngeri lain. Kita minta pendapatnya tentang negeri kita lalu kita ikuti sarannya. Tentunya dari sekian banyak negeri yang telah hebat tersebut, salah satunya akan cocok dengan kita”
“Konsep apa pula itu!” teriaknya.
“Apa maksudmu?” tantangku.
“Jadi kau lebih memilih untuk mencoba-coba dari sekian banyak obat yang ada sambil berharap salah satunya ada yang cocok, dibanding ide dimana kita sedikit lebih bersabar untuk duduk bersama-sama sesuai dengan kemampuan dan tingkat kita masing-masing dalam mencari apa penyebab sebenarnya dari penyakit yang tengah kita derita selama ini yang pada nantinya akan melahirkan suatu pemecahan yang paling cocok dengan kita?”
“Ya, memang itulah yang sebaiknya dilakukan. Ingat, kita sekarang menginginkan perubahan, bukannya suatu rumusan. Negeri ini telah muak dengan segala retorika, ide dan perdebatan tentang bagaiamana negeri ini seharusnya dibangun. Toh pada akhirnya semua itu tak lebih dari tong kosong yang nyaring bunyinya”
“Itu karena kita selama ini selalu menganggap bahwa diri kita yang paling hebat! Kita tidak mau duduk bersama dan meredam segala ego untuk mengutamakan logika. Kita lebih mencari ketenaran untuk dianggap sebagai orang pintar dibanding bermusyawarah untuk menghasilkan sebuah keputusan yang diperlukan.”
“Ah, letih aku berbicara denganmu.” Potongku. “Sekarang begini saja, apa sebenarnya keberatanmu jika kita menuju negeri itu?” kataku sambil menunjuk gerbang yang telah tampak dari tempat kami.
“Tentu saja aku keberatan!”, jawabnya setengah berteriak. “Negeri itu adalah negeri bandit, negeri para pencoleng dan tukang rampok. Negeri para barbar tak bermoral yang menjarah negeri-negeri disekitarnya. Makmur katamu? Memang benar mereka itu hidup dalam kemakmuran, namun harta yang mereka nikmati tak lebih dari harta berlumur darah dan air mata. Negeri itu tak lebih dari liang para serigala yang kelaparan yang selalu mengintai negeri yang lain. Negeri itu tak lebih dari tempat para penipu ulung, yang dengan lihainya mengambil harta kekayaan negeri lain. Mereka adalah para tukang sihir yang mampu menghipnotis orang agar menyerahkan apa yang mereka punya, bahkan bersedia dengan suka rela untuk menjadi budak mereka. Jadi, kutanyakan kembali padamu, pertolongan macam apa yang kita harapkan dari negeri seperti itu?”
“Diam!!!”, bentakku tak sabar. Telah muak aku mendengar segala ocehannya. “Dengar, jika kau tidak suka dengan semua ini, silahkan. Tapi itu tidak berarti kau berhak untuk melarangku menjalankan misi ini! Kau dengan segala prasangkamu, silahkan pergi ketempat yang kau suka. Namun aku akan tetap kesana, karena itulah tujuan perjalanan ini!”
Dia tertawa terbahak-bahak
“Setan! Apanya yang lucu?!”, teriakku
“Teman, tahukah apa sebenranya peranmu saat ini? Tak lebih dari pion !”. Dia kembali melanjutkan tawanya. “Ya, kau adalah pion, yang rela disuruh apapun dan kapanpun tanpa mau berpikir sedikitpun dengan apa yang dibebankan padamu. Tahukah kau apa yang akan menimpamu nanti?”
“Apa?”, tantangku.
“Jika kau berhasil dengan misi ini, maka kau mungkin akan diberi sedikit imbalan. Namun bagaimanapun juga bukan kau yang nantinya akan dipuji akan keberhasilanmu, namun mereka para penakut penjual negeri yang saat ini mungkin sedang berada di tempat pelesirannya di negeri kitalah yang mendapatkannya. Jika kau gagal, dan aku yakin itu yang akan terjadi, maka seisi negeri akan menudingmu sebagai penyebab kegagalan tersebut. Kau akan menjadi kambing hitam, sementara mereka-mereka yang mengutusmu akan berlindung menyelamatkan diri.”
Tanpa sadar, dikuasai oleh emosi yang telah demikian memuncak, tanganku bergerak dengan sendirinya menghantam mukanya. Cukup keras, karena kulihat dia sampai terduduk dibuatnya. Dari hidungnya keluar darah, namun anehnya dia masih bisa tertawa dan kembali mengejekku
“Ketahuilah, tinjumu ini jauh lebih ringan dibandingkan dengan apa yang akan kau terima nanti.” Dia mengusap darah yang keluar, menyeka dengan tangan seadanya, lalu kembali berdiri, “Baiklah, kau ingin kesana bukan? Aku tidak akan melarangmu lagi, karena terbukti percuma. Tapi aku tidak ikut denganmu, biarkan aku pulang. Mudah-mudahan nanti setelah kau kembali kita dapat bercengkrama seperti ini lagi.”
Dia tersenyum, lalu mempersilahkan aku meninggalkannnya. Akhirnya semua ini berakhir. Segera kubalikkan badanku, dengan yakin kulangkahkan kakiku menuju pintu gerbang negeri itu. “Tunggu aku, negeriku. Sebentar lagi akan kubawakan obat bagimu “