Translate

Kamis, 21 Maret 2013

ORANG GILA

    Kemarin, kampung kami baru kedatangan tamu. Namun tamu yang satu ini adalah tamu yang tidak diundang. Ya, ada orang gila baru dikampung kami. Entah dating dari mana, namun yang pasti dia telah “tinggal” di bekas poskamling yang ada dipasar kampung kami.Dia tidak muda tidak juga tua, separuh baya tepatnya. Mukanya yang tegas ditutupi oleh tebalnya debu disana sini, sebagaiamana juga bajunya yang lusuh dan bau. Seperti orang gila yang lainnya, rambutnya acak-acakan, mempunyai cambang yang tak teratur, ditambah jenggot yang tumbuh meranggas. Tapi ada yang unik pada orang gila ini, walaupun keadaannya begitu menyedihkan tapi tak mampu untuk menutupi sorot matanya yang tajam dan cemerlang.
    Tentu saja yang senang akan kedatangan orang gila ini dikampungku adalah anak-anak. Karena mereka dapat “mainan” baru. Banyak anak-anak yang berkerumun mengerubungi, walau tetap menjaga jarak, sambil tertawa-tawa dan mengolok-olok orang gila itu. Sepertinya orang gila itu tak terganggu dengan mereka, malah mungkin merasa senang. Karena senyum dan tawanya ikut berderai saat anak-anak itu tertawa, tak peduli bahwa yang ditertawakan anak-anak itu dia. Kalau anak-anak itu mengoloknya sambil bernyanyi, dia juga ikut bernyanyi. Kalau anak-anak itu bertanya, dia menjawab. Kalau anak-anak itu mengusiknya dengan sepotong ranting kecil, dia malah tertawa. Kalau anak-anak itu menari, dia juga ikut menari.
    Secara garis besar, tak ada yang terganggu dengan kehadirannya, namun dua hari sesudahnya itu berubah. Orang gila itu mulai berkelana keseluruh pelosok kampung kami. Selain dipasar, dia sekarang juga sering terlihat di sawah-sawah penduduk sambil duduk ongkang-ongkang kaki di dangau yang sedang tak dihuni pemiliknya. Atau terkadang dia terlihat sedang berselonjor diluar kedai kopi sambil menonton acara yang ada di tivi kedai itu. Atau dilain kesempatan dia terlihat sedang bernyanyi-nyanyi kecil di salah satu sudut lapangan sepak bola saat para pemuda sedang berlatih sepak bola. Awalnya dia memang tidak mengganggu, namun lama-kelamaan segala tingkah lakunya mulai meresahkan masyarakat.
    Seperti kemarin, disalah satu kedai kopi penduduk, dia mulai membuat ulah. Tanpa sebab apa-apa, dia yang awalnya dengan tenang menonton tivi, bangkit dan mulai menanggalkan pakaiannya satu-persatu. Sehingga dalam waktu lima menit kemudian dia telah bertelanjang tanpa ada satu helai benangpun melekat di badannya. Tentu saja orang-orang yang ada dikedai menjadi kaget. Ada yang hanya tertawa-tawa, ada yang memalingkan muka jengah, tapi tak sedikit pula yang menjadi berang dan mulai mencaci maki orang gila itu. Narsih, pemilik kedai itu tergolong pada orang-orang yang merasa kasihan. Bergegas dia menuju kedalam rumahnya dan tak lama kemudian keluar dengan sebuah pakaian bekas lengkap. Lalu dia menyuruh anaknya Udin untuk menyerahkan pakaian itu pada si orang gila. “Iba kita melihatnya…,”katanya sambil menggumam prihatin. Udinpun memberikan pakaian itu pada si orang gila.
Namun anehnya si orang gila menolak baju yang diberikan oleh Udin
“Tidak usah, bajuku masih ada…”katanya menolak. Orang-orang semakin heran, termasuk Saman, salah seorang dari pemuda kampung kami.
“Jadi kenapa kau buka pakaianmu hah? Kenapa kau telanjang” kata Sarman jengkel.
“Orang gila itu bagai tak memperdulikannya. Bahkan sekarang secara perlahan-lahan dia mulai menari.
“Oi, orang gila!!! Kenapa kau tidak menjawabku? Kenapa malah sekarang kau menari? Kau mau kuhajar ya?,” kata Sarman. Dial lalu bangkit dari duduknya dan begegas menghampiri orang gila itu. Saat tinjunya hamper mengenai wajah orang gila itu, orang gila itu berkelit. Sambil menaikkan salah satu alisnya dia berkata,
“Kenapa kau mau memukulku? Apa salahku?”
“Setan! Dasar orang gila! Sudah jelas salah masih bertanya juga!” jawab Sarman makin gusar. Dikejarnya orang gila itu dengan maksud untuk menghajarnya kembali, namun seperti tadi ternyata orang gila itu mampu berkelit dan menghindari semua serangan Sarman.
“Apa salahku? Apa salahku? Kenapa kau mau memukul diriku?” katanya berulang-ulang sambil berkelit. Orang-orang jadi tertawa melihat tingkah mereka, sementara Sarman semakin kalap, menyerang membabi buta. Namun sayangnya tak satupun serangannya itu mengenai sasaran. Akhirnya dia kehabisan napas, dia membungkuk memegangi lututnya terengah-engah lelah. Orang gila itu berhenti, lalu perlahan-lahan sambil tetap menjaga jarak dia dekati Sarman.
“Apa salahku? Kenapa kau mau memukul diriku?” tanyanya lagi pada Sarman. Saat itu tak terlukis gusarnya Sarman terhadap orang gila itu, namun apa daya, dialah pihak yang dikalahkan. Maka dari sela-sela napasnya yang terengah-engah, dia menjawab
“Dasar orang gila!! Kenapa kau masih bertanya juga? Bukankah jelas apa salahmu?”
Orang gila itu kebingungan, dia kembali bertanya’”Apa salahku?”
“Setan! Kau salah karena kau telanjang! Dasar orang gila tak tahu malu! Kalau kau ingin telanjang, jangan disini, karena kami masih waras, karena kami masih tahu dengan malu!!” bentak Sarman.
Orang gila itu sesaat tercenung, kemudian sambil menaikkan alisnya dia berkata,
“Lho, bukannya kalian suka dengan ketelanjangan? Buktinya kalian suka melihat adegan-adegan dimana orang-orangnya telanjang!” Orang gila itu berkata sambil telunjuknya mengarah ketelevisi yang saat itu sedang menayangkan sebuah acara yang berisikan artis-artis dengan pakaian yang terbuka disana-sini.
“Bukan, kau salah! Kami tidak suka melihat orang-orang telanjang!” jawab Sarman lagi.
“Lalu bagaimana dengan itu?” jawab si orang gila sambil kembali menunjuk kearah televise. Sekarang ditelevisi sedang menayangkan acara hiburan, seorang artis wanita tampak sedang bernyanyi sambil menari dengan erotis dan lagi-lagi dengan pakaian yang minim dan ketat.
“Itu bukan telanjang! Tapi itu seni! Ah, bagaimana kau mengerti dengan seni? Sampai berbusa-busapun aku berbicara aku yakin kau tidak akan mengerti!”
Sekarang tampak si orang gila tersenyum sinis mendengar jawaban itu. Dengan suara yang datar dia berkata,”Memang tak perlu kau jelaskan, karena aku sudah tahu bagaimana sebenarnya kalian. Kalian tak lebih dari manusia-manusia pemuja kelamin yang berlindung dibalik kata-kata seni dan keindahan! Kalian mengaku sebagai orang-orang yang memiliki nilai dan norma yang tinggi, sementara kalian bersorak kesetanan saat melihat seorang wanita memamerkan auratnya. Kalian tak lebih baik dari aku, kalian malah jauh dibawahku…”
Setelah itu dia memungut pakaiannya yang terserak ditanah dan segera berlalu dari tempat itu. Sementara orang-orang yang ada dikedai itu untuk sesaat hanyut dalam keheningan.
“Ah, jangan terlalu dipikirkan. Dia kan gila” kata seseorang memecah kesunyian.
“Ya, mengapa harus kita dengarkan kata-kata orang gila? Apa yang dia tahu? Kalau dia memang hebat, kenapa dia gila? Masak kita mau diajari oleh orang yang berpikir saja tidak bisa?” sambut sebuah suara yang lain. Merekapun mengangguk-angguk mengiyakan. Dan akhirnya situasi kembali normal serti sediakala.
Itu salah satu tingkahnya yang menjengkelkan. Dilain kesempatan, dia kembali membuat onar. Kali ini tempatnya dimesjid.
Ceritanya, saat itu Amin yang menjadi garin mesjid kampung kami, hendak menjalankan tugasnya disuatu pagi. Seperti biasa, sebelum azan dia selalu memutar kaset-kaset pengajian. Namun saat dia hendak melaksanakan niatnya itu, dia menjadi terkejut karena ternyata tape mesjid telah hilang! Lengkap dengan koleksi kaset-kaset pengajian dan ceramahnya sekalian. Aminpun menjadi panik, dia mencari keseluruh bagian mesjid. Jika tape itu tak segera ditemukan, alamat dia akan celaka. Sebab harga tape itu cukup mahal, sumbangan dari Haji Imran yang jadi juragan padi dikampung kami. Ditambah kemarahan para pengurus mesjid, bisa-bisa dia diusir dari mesjid itu. Lalu jika dia diusir, dimana lagi dia akan tinggal?
Maka Amin dengan panik mencari kesana-kemari. Sampai dibagian luar mesjid tampaklah olehnya orang gila itu sedang menduduki sesuatu. Saat diperhatikannya, ternyata yang diduduki itu adalah tape mesjid yang hilang. Saat dia hendak melangkah lebih jauh, kakinya menyentuh sesuatu yang dingin. Saat dia memperhatikan apa yang barusan dinjaknya, diapun berteriak ketakutan. Ternyata lantai luar mesjid saat itu telah digenangi darah!. Amin menjadi semakin ketakutan saat matanya memandang kesekeliling, dibeberapa tiang bagian luar sekarang tergantung bangkai-bangkai binatang! Ada bangkai ayam, bangkai kucing, bangkai anjing, dan bangkai yang lainnya. Dia segera berlari kedalam mesjid menuju kamarnya, menguncinya dari dalam dan tak berani lagi untuk keluar.
Karena tindakan Amin tersebut, pada pagi itu tidak terdengar suara azan subuh dari mesjid. Para jemaah yang biasa kemesjid menjadi heran dengan hal tersebut. Maka mereka bergegas menuju mesjid untuk mengetahui apa yang terjadi, sekaligus tentu saja untuk menunaikan sholat subuh. Namun saat mereka sampai dimesjid kebanggaan kampung kami itu, reaksi mereka tak jauh berbeda dengan Amin. Para wanita terpekik ketakutan, sementara lelakinya gemetar kecut. Tak ada yang berani mendekat, kecuali satu orang, pak Haji Nur yang biasa menjadi imam dimesjid kami itu. Perlahan-lahan namun pasti dia bergerak mendekati orang gila tersebut. Sementar yang didekati masih asik dalam lamunannya sambil sesekali tampak menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Permisi, saudara. Apakah saudara yang membuat mesjid kami seperti ini?” Tanya pak Haji dengan lembut, tidak ingin membuat si orang gila tersebut marah.
Siorang gila tersentak dari lamunannya, dia menoleh ke pak Haji, lalu sambil tersenyum ramah dia menjawab,”waalaikum salam. Benar pak, sayalah yang berbuat”
Pak haji untuk sesaat merah mukanya, namun segera dapat menguasai diri. Dia kembali bertanya,
“Maaf, saudara, kenapa saudara berbuat demikian? Apa maksud saudara mengotori mesjid kami dengan darah dan bangkai-bangkai ini? dan kenapa saudara mencopot tape mesjid dari tempatnya?”
“Ah, aku tidak pernah mengotori mesjid. Mesjid itukan tempat suci, mana berani aku mengotorinya? Apalagi mengambil sesuatu dari mesjid, wah bisa celaka aku seumur-umur!” gumamnya sendiri.
“Tapi saudara melakukannya!”, jawab pak Haji. “Tadi kamu mengaku sendiri bahwa kamulah yang mengotori lantai mesjid kami dengan darah. Ditambah, anda sedang menduduki tape kepunyaan mesjid ini. “
Orang gila itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Pak haji, pak haji. Kan sudah saya saya bilang saya tidak berani mengotori mesjid, apalagi mengambil barang-barangnya. Sementara, yang saya akui tadi, memang saya yang melumuri lantai bangunan itu dengan darah. Dan memang saya mengambil sesuatu dari banguan tersebut.”
“Jadi, maksudmu…”, gumam pak haji
“Ya, bangunan itu bukanlah mesjid!”
Terdengar ucapan istighfar dari mereka yang berada disana. Sementara pak haji sendiri terlihat memegang dadanya. Mukanya mengadah kelangit, mulutnya berkomat-kamit. Sedangkan orang gila hanya melihat keheranan atas reaksi yang terjadi.
“Ada apa? Ada bintang jatuh ya? Ada apa dilangit?”, diapun ikut-ikutan memandangi langit. Pak haji yang melihat itu, menjadi gusar, amarahnya tergambar diwajahnya yang berubah merah padam.
“Hei, orang gila! Apa maksudmu dengan ucapanmu itu!”, hadrdik pak haji dengan geramnya. Siorang gila terkejut. Dan seperti anak kecil dia memasang wajah cemberut sambil menghentak-hentakkan kakinya.
“Kenapa semua orang di kampung ini jahat-jahat semua? Kenapa aku selalu dihardik dan dihina? Apa salahku?”.
Dia memandangi mesjid yang telah dikotorinya dengan darah.
“Kenapa aku dimarahi? Padahal aku hanya ingin menolong kalian”, sambung orang gila itu. “Aku melihat dan mendengar bahwa kalian berkumpul disana tak lebih membahas tentang kematian dan negeri keabadian. Aku mendengar kalian selalu membahas dan berdoa agar mereka dimatikan dengan keadaan yang sebaik-baiknya. Kalian selalu membicarakan tentang perniagaan kematian, dimana amal yang kita kumpulkan akan ditukarkan dengan karcis menuju surga saat mati nanti. Bahkan pada saat-saat tertentu mereka mengumumkan tentang berita kematian warga kalian diatas mimbar yang ada didalam bangunan itu. Jadi, menurutku bangunan itu adalah bangunan kematian, karena itulah aku gantungkan bangkai-bangkai itu dan melumuri darah dilantainya agar kalian menjadi lebih khusuk saat kalian memikirkan kematian nantinya.”
Semua orang, tak terkecuali pak haji, hanya terdiam terpana mendengar jawaban tersebut. Orang gila itu kembali berkata,
“Sekarang kenapa aku dituduh telah mengotori mesjid? Sungguh tuduhan yang amat kejam! Tidak, bangunan itu bukanlah sebuah mesjid, karena mesjid adalah tempat untuk beribadah sekaligus tempat dimana terdapat kajian terhadap agama. Sementara agama itu berbicara tentang hidup, agama itu berfungsi untuk menghidupkan hidup manusia. Agama menuntun pemeluknya bagaiamana seharusnya dia bertingkah laku, agama mengajarkan bagaiamana seseorang seharusnya bertindak, agama menjaga seorang manusia agar tidak mati dalam hidup mereka. Jadi, bangunan itu bukanlah mesjid dimana ajaran sang pemuda agung tentang wahyu Allah dikumandangkan, bangunan itu adalah sebuah rumah duka dimana kematian selalu menyelubungi setiap segi bangunannya”
“Orang gila!!!”,bentak pak haji tak mampu lagi menahan emosinya. “Otakmu saja kurang waras, bagaimana pula kau pantas untuk memberikan kami ceramah tentang bagaiamana seharusnya kami beragama?”
Orang gila tertegun, memandang heran kea rah pak haji, lalu mengitarkan pandangannya kesekeliling. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, dan berjalan menjauhi mereka sambil berkata,
“Ah, sedih hatiku mendengar tuduhan-tuduhan kejam ini dari lisan mereka-mereka yang mengaku sebagai para calon penghuni sorga. Sebenarnya mereka tidak jauh berbeda dibandingkan dengan diriku, malah mereka sebenarnya jauh lebih buruk.”
Begitulah, dari hari kehari, orang gila itu menebar kekacauan disana-sini. Akhirnya penduduk pun bersepakat, agar tidak ada lagi gangguan, orang gila itu harus dilenyapkan dari kampong ini. Apakah itu berarti diusir, dibuang ketempat lain, atau bisa juga dibunuh. Semuanya nanti tergantung pada situasi. Maka, penduduk kampong berkumpul dan mulai mencari orang gila itu kesetiap sudut kampong. Namun anehnya dia bagai menghilang ditelan bumi. Sampai pada suatu saat, seorang pemuda dengan tergopoh-gopoh berlari menghampiri mereka dan mengatakan bahwa orang gila itu sedang berada di gerbang kampong. Parahnya lagi, orang gila itu tidak sendirian, dia ditemani oleh anak-anak dari kampong ini.
Maka penduduk kampungpun bergegas menuju gerbang kampong. Kali ini orang gila itu telah berbuat keterlaluan, tak ada hukuman lain yang pantas selain dibunuh. Namun saat mereka sampai digerbang kampong, mereka melihat orang gila dan anak-anak mereka sedang menari berputar-putar dengan orang gila berada paling depan. Mereka seakan sedang melakukan ritual tertentu, bernyanyi disertai dengan gerakan-gerakan ritmis yang mampu untuk menghipnotis penduduk kampong sihngga tidak dapat bergerak dari tempat mereka berada. Mereka hanya dapat memperhatikan yang sedang terjadi tanpa dapat melakukan apa-apa.
Saat rombongan orang gila dan anak-anak itu melintasi batas kampung, orang gila itu menoleh kebelakang, kearah warga, sementara anak-anak terus berjalan menjauh. Orang gila itu tersenyum sinis.
“Ketahuilah, bahwa kerusakan yang telah kalian lakukan selama ini telah keterlaluan. Maka atas nama kemanusiaan, anak-anak ini terpaksa aku bawa, agar nantinya mereka tidak tercemar dengan perilaku-perilaku kalian yang memalukan. Jangan anggap ini adalah sebuah perpisahan, tapi anggaplah ini sebagai berkah. Karena nantinya anak-anak ini akan hidup dalam kehidupan yang seharusnya. Sebenarnya kalian tidaklah lebih baik dibandingkan dengna diriku, malah kalian lebih buruk”
Setelah berkata demikian, orang gila itupun membalikkan badannya, berjalan kearah anak-anak yang telah mendahuluinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar