Translate

Kamis, 21 Maret 2013

DAGANG

    Akhirnya aku bisa juga beristirahat. Setelah sekian lama terpasung dalam pekerjaan kantor yang monoton dan membosankan, bosku mengabulkan permintaan cutiku. Terus terang, pengabulan permohonan ini merupakan anugrah. Karena perusahaanku tempat bekerja amat menjunjung tinggi kinerja dan loyalitas karyawan. Dalam artian, menuntut setiap karyawannya untuk selalu berjibaku, membanting tulang dan memeras otak dan tenaga, hanya demi kepentingan dan kemajuan perusahaan.  Sementara dilain pihak menuntut para karyawan untuk menempatkan kepentingan perusahaan diatas segalanya. Termasuk diatas keperntingan keluarga, sosial masyarakat, atau yang lainnya. Perusahaanku sangat bangga dengan hal ini, dan amat berterima kasih kepada para karyawannya yang bersedia bekerja mati-matian walaupun digaji cukup murah. Setidaknya itulah yang selalu dikatakan bosku disetiap pidato perayaan ulang tahun perusahaan.
    Namun, mungkin karena terbiasa dengan irama hidup yang penuh dengan kesibukan, pada hari kedua dari cuti panjangku selama 6 hari (karena biasanya perusahaan hanya memberi cuti selama 3 hari, tapi ini tentu saja tidak berlaku para beliau-beliau pemegang jabatan kunci. Mereka bisa cuti kapan saja, dan selama dia inginkan), aku jadi merasa bosan untuk terus merasa dirumah. Saat jam didinding menunjukkan pukul 10, aku memutuskan untuk mencoba kembali hobi lamaku, jalan-jalan kepasar. Yah, aku dulu sangat suka jalan-jalan kepasar. Pasar adalah tempat yang istimewa. Segala bentuk gairah, perjuangan dan kecerdikan terdapat disana. Menurutku, jaman sekarang ini, dipasarlah orang dapat kembali menemukan kemanusiaannya. Interaksi, canda tawa, caci maki, dan berbagai bentuk emosi yang terdapat pada diri manusia, tumpah ruah disana. Aku amat suka berada dipasar, aku sangat senang kepasar. Maka pada pagi itu aku memutuskan, aku akan pergi kepasar. Semangat untuk bernostalgia memancar dari jiwaku. Bergegas kuambil dompet dan kunci motor, dan tanpa membuang waktu, aku segera melesat menuju pasar.
    Setelah memarkirkan motorku, akupun masuk kedalam kompleks pasar. Ah, ternyata masih seperti dahulu. Semrawut, berantakan, dan becek. Teriakan-teriakan para penjual yang sedang menjajakan barangnya, atau suara perdebatan dari pembeli dan penjual yang sedang bertransaksi mengenai harga, atau teriakan keras dari para tukang angkat atau tukang air agar tidak menghalangi jalannya, bersahutan disana-sini. Aku tersenyum bahagia, akhirnya setelah sekian lama, aku bisa melihat dan merasakan kembali semua suasana ini.
    Saat itulah aku teringat akan sebuah kedai kopi yang berada ditengah pasar. Dulu aku sering kesana, menikmati secangkir kopi yang ditemani pisang gorang atau ubi goreng, dan menyaksikan atau terkadang ikut dalam acara debat dengan pengunjung yang lainnya. Temanya beragam, bebas tanpa aturan. Mulai dari masalah pasar yang (selalu) becek, mengenai iuran mingguan dan masalah-masalah umum yang dihadapi oleh para pedagang, sampai kemasalah naiknya kurs mata uang, turunnya harga minyak dunia, atau mengomentari tentang penyerangan sebuah negara terhadap negara yang lain. Atau terkadang, jika hari telah mendekati bulan puasa atau bulan haji, tema keagamaan pun tak luput dari pembicaraan. Semuanya bebas untuk berbicara, semuanya bebas mengeluarkan pendapat, asal tetap bersikap sopan. Anda boleh saja berbicara, walaupun anda baru saja datang. Anda boleh saja mengomentari pendapat orang lain, walaupun anda tidak begitu kenal dengan orang tersebut. Sering kupikir, mungkin inilah perwujudan demokrasi yang paling realistis yang ada dinegeri ini. Ya, demokrasi kedai kopi. Oleh karena itu, aku merasakan kembali suasana itu, aku akan pergi kesana. Mudah-mudahan masih ada.
    Akupun mulai berjalan. Kuperhatikan kesana-sini, berdesak-desakan, menghindari jalan becek, sambil sesekali menepi memberi jalan para tukang angkat dan tukang air untuk lewat. Walaupun tidak banyak berubah, namun bukan berarti tak ada sama sekali. Pada saat sekarang, terdapat beberapa kedai baru yang menjual berbagai macam keperluan. Memang ada beberapa pemaian lama yang masih kuingat, namun banyak pula pemain baru yang turut mengadu nasib. Ada beberapa kedai yang telah berubah dagangannya, bahkan ada yang tidak lagi berdagang barang, beralih menawarkan jasa.
    Tiba-tiba dari belakang ada yang memegang pundakku.
    “Maaf, abang ini yang dulu sering main didepan bioskop pasar ini kan?” tanya seorang pemuda berbadan kekar berambut pendek dan berbaju kaos ketat itu kepadaku. Memang, saat kuperhatikan wajahnya terasa familiar, namun aku lupa. Jadi, pertanyaannya aku jawab dengan anggukan perlahan sementara memoriku bekerja mengingat wajah itu.
    Dia tersenyum gembira. Ah, senyum itu! Yah, aku memang pernah melihatnya pada masa silam.
    “Masih ingat sama aku bang? Aku Marwan, pengamen yang selalu minta rokok sama abang dulu? Bahkan dulu waktu abang sedang tidak punya uang, abang ikut ngamen sama saya berkeliling pasar ini. Masa abang lupa?”
    Marwan? Ya, aku ingat sekarang! Marwan, pemuda ceking pengamen jalanan yang selalu menyandang gitar butut dan hanya bisa menyanyikan tiga lagu. Ya, Marwan yang selalu meminta rokokku dengan alasan dia belum dapat uang dari mengamennya, pemuda yang lugu namun berani, yang membelaku saat beberapa preman pasar bermaksud untuk mengompasku. Ya, Marwan yang ceking itu, Marwan yang kurus itu. Bagaimana bisa aku melupakannya? Tapi, tunggu dulu. Marwan yang kukenal berbadan kurus ceking, sementara yang berdiri dihadapanku sekarang adalah seorang pemuda tegap dan tegar. Mungkinkah dia itu Marwan yang kumaksud?
    “Marwan?” tanyaku ragu.
    Dia menjabat tanganku, lalu mengayunkannya keatas dan kebawah dengan kuatnya, sampai terguncang badanku jadinya. Dia tertawa sejadi-jadinya, aku jadi risih melihat tatapan orang kepada kami.
    “Benar bang, aku Marwan.”
Aku tetap menatapnya dengan ragu, dan tampaknya dia mengerti akan hal ini.
“Ah, abang pasti heran melihat aku kan? Marwan yang dulu kurus kerempeng, sekarang telah berubah menjadi Marwan sang perkasa! Ya, mau gimana lagi bang, tuntutan profesi…”.
Nah, sekarang aku baru yakin yang berdiri didepanku itu memang Marwan yang kukenal. Karena aku selalu ingat kata-katanya yang khas tadi, ‘karena tuntutan profesi’. Kata-kata itulah yang selalu digunakannya untuk membela diri setiap aku memberi komentar akan penampilannya dulu sewaktu masih jadi pengamen yang amburadul, serampangan dan dekil. Langsung saja segala keraguan yang tersisa hilang, digantikan perasaan akrab dan kebahagiaan menemukan teman lama.
“Wah, hebat kau sekarang ya!”.kataku. “apa yang kau makan sampai bisa sebesar ini?” tanyaku bergurau.
“Ah, abang bisa saja”jawabnya.”Wah, sudah lama juga abang tidak kesini, sedang cari apa bang?”.
“Tidak. Aku tidak mencari sesuatu. Aku hanya kangen dengan pasar ini. Perusahan tempatku bekerja memberiku cuti, makanya aku bisa kesini.”
Dia tersenyum kecil. “Kalu begitu, bagaimana kalau kita ke kedaiku saja bang? “
“Ha? Sudah punya kedai juga kamu sekarang? Wah, hebat kau ya! Tidak mengamen lagi rupanya!”
“Kenapa tidak? Abang saja yang dulu kerjanya jadi pengangguran dan tukang goda anak gadis yang lewat, sekarang tampaknya sudah makmur dan punya pekerjaan. Jadi kenapa aku yang dari dulu memang sudah banting tulang, tidak boleh mendapat sedikit kenaikan tingkat kemakmuran?” jawabnya sambil memuji diri sendiri. Rupanya belum berubah juga dia. Tapi secara jujur harus kuakui, sikap narsisnya itu telah membuatnya menjadi orang yang selalu percaya diri, optimis dan pantang menyerah. Dia selalu menganggap apa yang orang bisa lakukan, dia juga bisa lakukan. Memang, narsis itu tidak baik, namun dalam kasusnya ke-narsis-anlah yang membuatnya masih tetap bertahan hidup sampai sekarang.
“Aku ada usul bang...” ucapnya tiba-tiba sambil menghentikan langkahnya. Aku yang berada disampingpun otomatis mengikutinya.
“Usul apa?” tanyaku heran.
“Abang kan sudah lama tidak kepasar ini. Bagaimana kalau kita keliling saja dulu. Lagipula sebenarnya aku sedang bekerja saat ini. Jadi, sekali mendayung dua tiga pulau dilewati. Abang bisa melihat-lihat pasar ini sementara aku dapat tetap mengerjakan tugasku. Bagaimana? Abang tidak terburu-buru kan?”
“Tidak, aku tidak terburu-buru” jawabku sambil menatap jam ditanganku. Masih jam 11.30, berarti waktuku masih banyak. Daripada dirumah bingung tak tahu apa yang akan dikerjakan, lebih baik aku ikuti saja sarannya. “Aku sih mau-mau saja. Tapi, apa benar tidak akan mengganggu perkerjaanmu? Lagipula, apa sih pekerjaanmu saat ini?” tantaku ingin tahu.
Dia hanya tersenyum penuh misteri. “Nanti Abang akan tahu sendiri. Ayo bang, ikuti aku ” ujarnya sambil bergegas melangkah kembali.
”Hei, tunggu aku ! ” ucapku setengah berteriak. Cukup cepat juga dia berjalan diantara kerumunan ini. Susah juga mengimbanginya.
***

    Akhirnya setelah sekian lama berjalan, sampailah kami didepan sebuah kedai. Kedai ini lumayan bersih, lantainya dari marmer, dindingnyapun dicat dengan warna yang cerah. Banyak orang yang keluar masuk kedai itu. Tampaknya kedai ini baru dibuka, karena aroma cat dan kilau kaca dan etalasenya masih kentara. Saat aku sedang mencari-cari papan nama kedai itu, Marwan berkata, ” Aku masuk dulu yang Bang ? sebentar kok. Abang lihat-lihat saja didialam, siapa tahu abang tertarik. Bereslah, nanti akan kuminta pemiliknya untuk memberikan diskon untuk abang.”. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan. Marwanpun menghilang kebalik pintu yang ada dibagian dalam, sementara aku sendiri mulai melihat-lihat barang yang terpajang dietalase. Anehnya, tak satupun barang yang kutemui disana. Yang ada hanya berupa kertas-kertas berisikan tulisan-tulisan. Saat kuperhatikan lebih seksama, kertas-kertas itu mirip sertifikat, atau yang sejenisnya.
    ”Ada yang bisa saya bantu pak ? “ tanya seseorang mengejutkan kebingunganku. Sepertinya dia pramuniaga disini, karena dia memakai semacam seragam.
    “Ah, cuma lihat-lihat saja. Tapi maaf, saya mau tanya, toko ini menjual apa ya?” tanyaku kepadanya. Dia hanya tersenyum, senyum standar para penjaja dagangan.
    “Bapak baru pertama kali kesini ya?” tanyanya. Aku mengangguk membenarkan dugaannya.
    “Memang bisa dibilang, kami juga baru membuka usaha ini. Pada awalnya, banyak juga yang kebingungan seperti bapak saat mereka masuk ketoko ini. Namun setelah mereka tahu, banyak dari mereka menjadi pelanggan tetap kami. Dan seperti bapak lihat, toko ini selalu ramai oleh pengunjung” katanya sambil tangannya mengarah kebelakangku. Saat kuikuti arah tangannya, memang terlihat orang-orang yang saling berdesakan. Bahkan tampaknya jumlah pramuniaga disini tidak sepadan dengan jumlah pengunjung yang datang. Sehingga tampak pemandangan dimana para pramuniaga tersebut kewalahan memenuhi permintaan para pembeli.
    “Nah, sekarang saya mau tanya. Bapak agamanya apa ya?” tanyanya tiba-tiba. Aku jadi semakin heran, kenapa dia sekarang menanyakan agamaku? Melihat aku hanya terdiam dia kembali bertanya,
“Maaf pak, saya tidak bermaksud apa-apa. Tapi apa yang saya tanyakan itu penting, agar nantinya saya bisa membantu bapak. Jadi, bapak agamanya apa?” tanyanya kembali dengan sopan.
“Islam...”jawabku masih tidak mengerti dengan arah pertanyaannya. Dia mengambil sesuatu dari sakunya, lalu mengenakannya kekepala. Saat aku perhatikan, ternyata benda itu adalah sebuah kopiah bulat yang terbuat dari rajutan benang. Setelah dia mengenakan kopiah itu, sikapnya tiba-tiba berubah drastis. Senyumnya makin mengembang, lalu dengan serta merta segera memelukku. Diguncangnya tubuhku dalam dekapannya. Aku hanya terdiam, tak menyangka reaksi yang diberikan oleh pramuniaga itu.
“Assalamualaikum, saudaraku. Semoga Allah selalu memberikan hidayah dan rahmatNya kepadamu. Semoga dilimpahkan kebahagiaan didunia dan diakhirat untukmu. Amin” lalu dilepaskan dekapannya, namun masih dengan bibir yang menyunggingkan senyuman. Aku jadi bingung juga menanggapi peristiwa yang baru saja terjadi.
“Waalaikum salam…” hanya itulah yang keluar dari mulutku. Lalu aku kembali terdiam kebingungan.
“Jadi apa yang bisa kubantu saudaraku? Ceritakanlah permasalahanmu, insya Allah, jika Dia menghendaki, aku akan berusaha menolongmu.” Tanyanya kembali sambil mengembangkan kedua tangannya.
Membantu? Membantu apa? Batinku. Apa yang harus aku utarakan? Apa yang harus aku lakukan? sementara aku tidak tahu bagaimana dia bisa menolongku, lagi pula sampai detik ini aku tidak tahu apa yang mereka jual. Jadi bagaimana mereka bisa menolongku?
“Ah, rupanya anda masih malu-malu” katanya lagi. “Baiklah, biar aku coba menerkanya. Saudara pasti sedang dirundung dengan kegelisahan ya?”
Dalam kebingunganku, aku hanya bisa mengangguk perlahan. Sekarang giliran dia yang mengangguk-anggukkan kepalanya, dia menatapku kasihan.
“Ya, pada jaman sekarang ini orang-orang selalu dirundung oleh berbagai permasalahan hidup. Hatinya gelisah, batinnya tak tenang. Selalu dahaga mencari setitik kedamaian. Tapi, sebenarnya itu semua tidak perlu terjadi jika seandainya kita mau kembali kepadaNya. Dia, sang Pencipta, yang rahmatNya melingkupi seluruh bumi dan langit.” nasehatnya kepadaku. Aku jadi semakin bingung, stress mendengar kata-katanya yang tak bisa kutebak kemana ujungnya. Tanpa memperdulikanku, dia dengan cekatan mengeluarkan beberapa helai kertas dari etalase dan memaparkannya dihadapanku. Aku hanya dapat memandangi kertas-kertas itu, lalu beralih memandanginya.
“Ini apa?” tanyaku lemah.
“Itu adalah jawaban dari segala permasalahanmu, saudaraku. Pilihlah salah satunya yang menurutmu paling cocok. Telitilah dengan seksama, agar kau nantinya tidak menyesal” jawabnya sambil mengangguk-anggukkan kepala. Penasaran, aku ambil satu kertas. Dibagian atasnya terdapat sebuah nama, Jalan ke Surga. Lalu ada ucapan salam, diikuti shalawat kepada rasul. Setelah itu ada bagian yang dikosongkan yang digaris bawahi. Dibawahnya dengan huruf yang lebih kecil dan dikurung, menerangkan bahwa bagian kosong itu diisi dengan nama. Nah, yang mengejutkan adalah bagian sesudah nama itu. Ada sebuah pernyataan bahwa si Polan, sebagai pemimpin dari organisasi jalan kesurga, dengan nama Allah, memberikan keringanan terhadap orang yang namanya dicantumkan pada bagian sebelumnya untuk melakukan ibadah sholat 1 kali sehari, tidak menjalankan puasa, dan tidak menunaikan zakat. Untuk keringanan yang diberikan tersebut, Polan sebagai ketua Jalan ke Surga meminta kepada orang yang namanya tercantum di sertifikat ini untuk mengakuinya sebagai utusan Allah, bersumpah setia padanya, mengikuti pertemuan yang dilakukan 2 kali seminggu, dan kewajiban membayar iuran sebesar dua ratus ribu rupiah setiap kali pertemuan. Dibagian bawahnya terdapat bagian tempat membubuhkan tanda tangan yang disampingnya terlihat tanda tangan dari Polan, yang mengaku sebagai rasul dan pemimpin dari Jalan ke Surga.
    “Ini…, ini apa?”tanyaku tak percaya.
    “Bapak masih belum mengerti?”
    Aku menggeleng, dia mengambil kertas yang kupegang.
    “Ini, saudaraku, adalah jawaban dari segala permasalahanmu. Kita berdua tahu, bahwa kita hidup di jaman yang menuntut kita untuk bekerja keras membanting tulang mencari sesuap makanan dan tempat berlindung. Nah, dengan menandatangani kertas ini, waktu saudara akan lebih banyak untuk bekerja. Anda tak perlu lagi pusing-pusing untuk beribadah 5 kali sehari, anda tidak perlu lagi berpuasa, anda tidak wajib lagi berzakat. Dengan mengakui Polan sebagai rasul anda yang baru, maka anda telah dibebaskan dari semua kewajiban tadi. Anda akan menghasilkan uang lebih banyak, tingkat kemakmuran andapun akan meningkat, dan tentu saja, anda masih dapat beribadah kepadaNya. Malah bisa jadi dengan ketekunan dan waktu anda yang tercurah sepenuhnya untuk mencari nafkah, anda akan menjadi orang kaya. Nah, yang dimuliakan Polan hanya meminta sedikit bagian dari penghasilan anda tersebut yang digunakannya untuk menyebarkan kabar gembira ini kepada orang lainnya yang belum mengetahuinya. Bagaimana, bapak mau yang ini?” ucapnya sambil kembali menyodorkan kertas itu kepadaku.
    Otakku serasa mau pecah mendengarnya. Alternatif apa pula ini? Otakku belum dipersiapkan untuk dapat menerima logika ekstrim yang ditawarkannya. Sejak kapan agama dapat ditawar-tawar? Bukankah agama adalah suatu perjanjian hidup dan mati antara Khaliq dan makhluknya? Bukankah agama berfungsi sebagai petunjuk kehidupan, seperangkat ritual dan pengetahuan yang bertujuan untuk menjaga manusia tetap dalam kemanusiaannya? Bukankah agama adalah petunjuk dan bimbingan yang diberikan kepada manusia agar tidak salah jalan? Jadi, sejak kapan agama yang begitu sakral telah berubah menjadi sesuatu yang dapat ditawar-tawar? Pikiranku bolak-balik tercampur aduk mencoba memahami apa yang terjadi, namun malangnya aku tidak bisa...
“Bagaimana saudaraku? Atau kau kurang berkenan dengan Jalan ke Surga?” tanyanya kembali. Sekarang tangannya dengan cekatan segera mengambil kertas-kertas lainnya,”Atau anda ingin yang ini? Ini berasal dari Kebenaran Sejati. Pemimpinnya adalah orang suci, wali Allah. Dia menawarkan pembebasan dari berbagai ritual yang selama ini kita kerjakan, karena dia telah bertemu dengan Allah, dan Allah memerintahkannya untuk menyampaikannya kepada manusia. Dia berkata bahwa sejatinya manusia itu adalah makhluk yang harus selalu ingat dengan Allah, ibadah hanyalah perbuatan. Yang penting adalah niat dan pemahaman. Dia tidak meminta banyak, selain sejumlah kecil uang dan pengakuan atas dirinya. Itu saja” lalu dia berikan kertas yang dipegangnya. Aku bagaikan robot, hanya menerima tanpa dapat berkata apa-apa, tanpa bisa berbuat apa-apa
“Atau bagaimana dengan yang ini? Tekhnik Pencerahan? Atau yang ini, Al Quran tersuci? Atau yang ini ? atau …. ” dia terus berbicara, sementara aku tidak bisa lagi mendengarkannya. Aku seakan menjadi tuli, sementara tulisan-tulisan yang ada dikertas yang aku pegang telah berubah menjadi aksara-aksara yang tidak aku mengerti, tidak aku pahami.
    “Maaf...” potongku. Dia segera berhenti.
    “Jadi bagaimana pak? Sudah menetukan pilihan?”
    “Tidak, tidak. Aku hanya ingin bertanya. Agama yang anda tawarkan tadi, agama-agama baru ya?”. Dia tertawa kecil mendengar pertanyaanku, aku bingung, apakah ada yang salah dengan ucapanku?
    “Ah, saya tidak menawarkan agama baru saudaraku. Apa yang saya jelaskan tadi adalah agama Islam! Tapi tentu saja dengan versi yang berbeda-beda”
    “Maksud anda?”
    “Semua tadi adalah Islam, namun dengan interpretasi yang berbeda-beda! Bukankah Islam adalah agama yang mengajarkan bahwa perbedaan itu adalah rahmat? Lagipula, sebenarnya semua agama itu sama. Karena seluruh agama mengajarkan kebaikan dan menjadikan kebaikan sebagai tujuan utama. Mengenai terjadinya perbedaan persepsi yang terjadi didalam diri manusia, itu tidak bisa dihindari. Lain kepala, lain pula pemikirannya.”
    “Semua agama sama?” tanyaku terkejut. “Dari mana pula datangnya pemahaman itu?”
    “Oh, itu sesuai dengan tuntutan jaman pak. Sekarang adalah jaman globalisasi yang menuntut setiap umat manusia untuk membuka dirinya. Sekarang adalah jaman yang menuntut setiap manusia untuk bersikap bebas, terlepas dari segala ikatan yang selama ini mengungkungnya. Ini juga berlaku untuk agama, segala ritual dan dogma-dogma harus dikaji ulang, karena semuanya harus disesuaikan dengan tuntutan situasi dan kondisi yang manusia hadapi pada jaman sekarang. Identitas lokal atau regional yang bersifat pribadi tidak diperlukan lagi. Teknologi dan ilmu pengetahuan diarahkan untuk membentuk suatu masyarakat universal dan identitas yang digeneralilasi, yaitu manusia universal. Semuanya harus dipandang dari sudut persamaannya. Dalam hal agama, bukankah semua agama menghendaki agar setiap umatnya menjadi baik dan mengajarkan kebaikan ? ” terangnya panjang lebar.
    ”Jadi dimana letak kebenaran sebuah agama ? ” tanyaku. Suaraku sudah mulai meninggi yang membuat beberapa pengunjung yang lainnya mulai memperhatikan perdebatan kecil kami
    “Maksud Bapak?” tanyanya tidak mengerti.
    “Maksud saya, bagaimana lagi kita bisa yakin akan kebenaran agama yang kita anut, jika ritual dan dogma yang merupakan identitas dari agama tersebut telah diotak-atik? Jadi dimana letak posisi nabi sebagai pembawa agama?”
    “Nah, disitulah letak kesalahan kita selama ini” jawabnya mantap. “Kita selalu merasa takut untuk menggunakan logika kita untuk memodifikasi agama yang kita anut. Walaupun maksud dari pemodifikasian tersebut adalah untuk kebaikan agama itu sendiri, agar sesuai dengan perjalanan peradaban dan tuntutan kemajuan teknologi dan pengetahuan.”
    “Tunggu dulu, sejak kapan agama, dalam hal ini Islam, menghambat kemajuan? Bukankah pada dasarnya agama adalah seperangkat perundang-undangan, norma-norma, nilai-nilai kemanusiaan, yang pada akhirnya menjadi tuntunan bagaiamana seharusnya manusia itu hidup dan bersikap, sehingga dengan semuanya itu akan terbentuk sebuah peradaban kemanusiaan yang lebih baik? Saya berbicara bukan tanpa dasar. Karena sejarah membuktikan Islam pernah mengangkat para umatnya untuk memiliki peradaban yang modern dan maju pada masa lampau.” bantahku
    “Ah, ternyata bapak juga terjebak disana. Bapak terpasung dalam nostalgia masa emas abad lampau. Pak kita hidup pada masa sekarang, bukan masa lalu. Lagi pula, jika memang peradaban lampau itu hebat, kenapa itu semua mesti punah? Kenapa peradaban yang bapak banggakan tersebut hilang ditelan jaman?” jawabnya dengan sinis.
    “Peradaban itu hancur karena orang-orang seperti anda!!!” jawabku setengah berteriak. “Peradaban itu hancur karena para umatnya telah mulai meragukan dan meninggalkan kebesaran ajaran agamanya, menggantinya dengan pengejaran kekuasaan dan kekayaan. Mereka menjadi terlena, sehingga membuka lobang-lobang yang akhirnya digunakan oleh para musuh agama ini untuk menghancurkan peradaban tersebut.”
    “Jadi kenapa kita masih terpuruk pada jaman sekarang?” jawabnya dengan sura dingin.
    “Karena kita tak mau merubahnya. Daripada mencari dan berusaha untuk menerapkan ajaran agama seusai dengan tuntunan yang diberikan oleh Rasul, kita lebih memilih untuk mempertanyakan kebenaran ajaran agama. Kita lebih memilih untuk menyetujui pendapat orang-orang yang jelas-jelas tidak ingin agar umat ini kembali besar seperti yang pernah dicapainya pada jaman lampau, yang mengatakan bahwa ajaran agama kita telah menjadi usang, kuno dan tidak sesuai lagi dengan kemajuan jaman. Kita lebih memilih untuk tidak menggunakan logika kita dalam memahami berbagai dogma dan kebenaran yang terdapat dalam ajaran agama, kita malah menggunakan logika tersebut untuk mengotak-atik perangkat peraturan dan tuntunan yang telah diberikan Allah kepada kita yang disampaikannya kepada rasul agar kita dapat meneladaninya. Logika itu terlalu liar, jika tidak dikontrol dengan benar. Kalau itu yang terjadi, maka bukan kedamaian yang kita dapatkan, malah kegelisahan dan ketidaktenangan dalam hidup.”
    “Ah, anda ini terlalu konserfatif!!!” bentaknya dengan kesal kepadaku. “Anda ternyata seorang fundamentalis, yang tak ingin maju. Anda ini anti globalisasi, anda ini musuh manusia-manusia universal!!!”
    “Ya!!! Saya lebih memilih dipanggil fundamentalis, saya lebih memilih dipanggil konserfatif. Daripada ingin disebut modern dan maju, dan melakukan bunuh diri eksistensi!!!”
    “Fundamentalis!!!” teriak seseorang yang ada dibelakangku.
    “Kuno !!!, anti kemajuan !!! teroris !!!” sambut yang lain.
Aku jadi tersudut menghadapi teriakan mereka semua. Saat itu Marwan keluar, “Heii ada apa ini! Bang, kenapa bang?” teriaknya dengan lantang, menciutkan hati yang lainnya.
    “Marwan, aku sudah muak berada disini!!! Ayo kita pergi”kataku sambil segera berlalu. Sementara Marwan mengikuti dari belakang.
    “Ada apa bang?” tanyanya saat dia telah berjalan disisiku. Akupun menceritakan semua peristiwa yang terjadi.
    “Jadi bagaimana menurutmu?” tanyaku meminta pendapatnya.
    “Ah, biasa saja itu bang. Jangan diambil hati.” Hanya itulah jawaban yang diberikannya. Tampaknya dia tidak begitu peduli dengan urusan ini.
    “Lebih baik bang ikut aku saja. Akan aku ajak abang menuju tempat yang abang pasti akan suka”
    “Kemana?” ucapku malas-malasan.
    “Ikut sajalah! Disana abang akan bertemu dengan banyak wanita cantik”
    “Maksudmu?” tanyaku kembali
    “Akan aku ajak abang kesebuah kedai yang memperjual belikan wanita! Mulai dari yang masih belia atau yang sudah setengah baya. Semuanya ada disana.bagaimana?”
    “HA !!!??” ucapku tak percaya.
    “Ah, ternyata memang abang telah lama tidak kepasar. Nanti setelah dari sana, akan kuajak abang kekedai yang menjual ijazah palsu. Abang bisa memilih tingkatnya. Apakah S1, S2, D3 atau yang lainnya. Abang juga bisa memilih tempat kelulusan abang.”
Dia berhenti sebentar melihatku. Mungkin karena aku tetap dalam keheninganku, dia melanjutkan,”atau abang ingin mencoba memiliki anak? Aku punya kenalan dikedai yang memperjual belikannya, dari ras apapun dan dari umur manapun! Atau....”
    “Cukup,cukup.”potongku. “Marwan, apa sebenarnya pekerjaanmu? Kenapa kau kenal dengan mereka semua?”
    “Ah, pekerjaan yang tidak terlalu penting, bang. Memang tidak terkenal, tapi cukup untuk memberikan kemakmuran yang lumayan besar”
    “Sudah, sudah. Katakan saja apa pekerjaanmu! Otakku sudah cukup pusing dengan semua yang kualami!”
    “Aku bekerja sebagai oknum, bang. Aktor dibelakang layar. Jadi, karena terus berada dibelakang layar, aku memang tidak akan pernah terkenal. He…he…he…” jawabnya dengan enteng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar