Translate

Jumat, 31 Agustus 2012

SEPENGGAL CERITA DI TENGAH MALAM


“Kau bilang alam ini hidup ? sungguh sebuah konsep yang menggelikan !” bantahku.
            “Kenapa tidak ? Karena itulah kenyataannya !” tukasnya tak mau kalah.
            “Terangkan padaku !” tantangku.
            Dia terdiam, tampak berpikir untuk mengajukan alasannya.
            “Baiklah, sekarang mari kita defenisikan dulu suatu perkara yang amat penting. Sekarang aku bertanya padamu, apakah arti khaliq dan makhluk?” Sekarang akulah yang terdiam. Akupun berfikir keras lalu mengajukan sebuah jawaban.
            “Sepengetahuanku, Klaliq adalah sang pencipta, kreator agung alam ini. Dialah Tuhan. Sedangkan makhluk adalah segala yang diciptakan.”
            “Jadi jelas Khaliq dan makhluk berbeda bukan?”
            Akupun mengangguk, dia meneruskan kata-katanya.
            “Nah, kita sebagai manusia terkadang melakukan kesalahan yang fatal atas pengertian tadi. Walaupun kita mengakui perbedaan antara makhluk dan khaliq, namun kita sering mencampuradukkan keduanya. Dalam artian sering kita memakhlukkan khaliq atau sebaliknya menghkaliqkan makhluk. Sehingga terjadi kerancuan antara keduanya, dan kitrapun menjadi tersesat. Mungkin ini ada kaitannnya dengan sifat manusia yang tidak bias membayangkan sesuatu yang tidak pernah di indra secara langsung olehnya. Sehingga banyak yang secara tak sadar mengambil jalan pintas dengan melekatkan sifat-sifat kemakhlukan pada sang khaliq.”
            “Lalu apa kaitannya dengan alam yang hidup ?”, tanyaku tak mengerti.
Dia kembali terdiam. Tampak sedang asik dengan pikirannya sendiri.
            “Maksudku begini,” katanya tiba-tiba. “Kita sebagai makhluk takkan pernah terlepas dari hokum sebab akibat. Dalam artian bahwa kita akan selalu berproses. Karena itulah setiap yang diciptakan akan mengalami kehancuran, setiap ada awal akan selalu ada akhir. Semua itu disebut proses, karena sebenarnya akhir dari sesuatu adalah awal dari sesuatu yang baru. Dan itulah yang terjadi, sebuah siklus yang tak terputus. Memang bila kita mendefinisikan hidup secara sempit sebagai sebuah proses yang selalu berhubungan dengan bernapas dan makan, tentu saja batu itu adalah benda mati. Namun jika kita mau mengkajinya lebih dalam, sebenarnya proses bernapas dan makan itu tak lebih dari sebuah siklus energi belaka. Dimana satu bentuk energi berubah menjadi bentuk energi yang lainnya. Bila kita bertolak dari sudut pandang ini, maka tampaklah bahwa sebenarnya alam itupun hidup ! Masih ingatkah kau saat kita masih di SMA dulu ? waktu itu kita diajarkan bahwa sebenarnya pada setiap zat terdiri atas atom-atom yang menyusunnya. Dimana setiap atom selalu dikitari oleh electron. Pertanyaan yang akan timbul adalah, apa yang menyebabkan electron-elektron itu dapat selalu berputar mengelilingi intinya ? Energi ! Jadi ternyata benda-benda yang selama ini kita pandang sebagai benda mati pada dasarnya adalah hidup ! Karena mereka senantiasa bergerak, dan gerak adalah salah satu ciri dari kehidupan bukan ? “.
            Aku terdiam sesaat, mencoba mencerna kata-katanya. Lalu ada sesuatu yang melintas dipikiranku yang langsung kutanyakan padanya,
            “Jadi kau ingin mengatakan, bahwa Tuhan itu … mati ?”. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu menatap tajam kepadaku.
            “Apa ?”, kataku penasaran.
            “Tahukah kau apa yang baru saja kau lakukan ? Ternyata kaupun terjebak disana sobat. Masih ingatkah kau dengan apa yang kita bicarakan sebelumnya ? bahwa dalam keterbatasan kita, kita berusaha memahami Tuhan dengan melekatkan segala sifat kemakhlukan kepada-Nya. Dan itulah yag baru saja kau lakukan !, Dia, Tuhan sang khaliq adalah Sang Pencipta. Dia terbebas dari segala sifat ciptaan-Nya. Dia berada di dimensi keilahian yang tanpa batas dan tak terbayangkan. Memang, saat kita membaca kitab suci, kita akan dapati bahwa Tuhan itu mendengar, Tuhan itu melihat, hidup atau pengasih. Namun tentu saja mendengar, melihat dan hidup disini tidaklah sama dengan mendengar, melihat dan hidup yang kita alami. Hidupnya Tuhan adalah hidup yang adikodrati, sedangkan hidupnya kita adalah hidup yang kodrati. Saat kita secara tidak sengaja menyamakan sifat dari hidup-Nya dengan hidup kita, maka pada saat itulah kita secara tidak sadar telah menarik-Nya kestatus yang sama dengan diri kita, yaitu makhluk ! Bukankah dengan bertindak demikian kita telah merendahkan-Nya ?”
            “Jadi… bagaimana kita dapat memahaminya?” Dia terdiam dan tertunduk. Sebuah kehampaanpun tercipta. Sampai pada suatu ketika diapun memcah kesunyian itu,
            “Memang, bila kita telah sampai pada titik ini, kita akan merasakan adanya suatu dinding pembatas antara Dia dengan kita. Kita tak ubahnya menjadi anak-anak ayam yang kehilangan induknya, kebingungan mencari kesana kemari. Namun untunglah Tuhan tidak benar-benar meninggalkan kita. Dia Maha Pemelihara atas ciptaan-Nya. Dia Maha Bijaksana, sehingga dengan kebijaksanaan-Nya kita selalu diberikan bimbingan dan tuntunan untuk mengenal-Nya. Tahukah kau apakah itu ? itulah kitab suci ! yang diturunkan-Nya kepada manusia-manusia pilihan-Nya. Didalam kitab suci terdapat petunjuk-petunjuk untuk dapat memahami-Nya. Salah satunya adalah dengan cara memperhatikan segala ciptaan-Nya dan memikirkannya. Lihatlah alam semesta, tata surya, planet-planet beserta isinya. Mereka begitu bervariasi, begitu beragam. Namun didalam keberagaman dan perbedaan itu, mereka tunduk pada suatu aturan yang menyebabkan mereka dapat bergerak secara harmonis dan saling mengisi. Sekarang logikanya, tak mungkin aturan itu ada dengan sendirinya bukan ? Atau sama mustahilnya dengan mengatakan bahwa segala kerumitan dari hubungan-hubungan yang terjadi dalam semesta adalah sebuah kebetulan belaka ! Pada saat itulah maka kita akan tiba pada suatu kesimpulan bahwa ada sesuatu yang Maha Kuasa, Maha Cerdas dan Maha Pencipta menciptakan aturan-aturan tersebut. Pada saat itulah maka kehadiran Tuhan akan kita rasakan, malah sebenarnya kita perlukan !”.
            Dia terhenti sebentar, untuk sekedar mengambil napas. Setelah itu diapun melanjutkan,
            “Atau kita bisa juga mendekati-Nya melalui keindahan. Saat kita mendengarkan sebuah alunan musik, memandang sebuah lukisan, memahami sebuah bentuk ukiran dan bangunan, maka akan timbul suatu rasa kekaguman. Pertama-tama kekaguman itu kita tujukan kepada benda-benda itu, pada tahap selanjutnya kita pun akan mengagumi si pembuat benda itu. Namun, pada titik akhir, semua kekaguman itu akan tertuju kepada sesuatu yang menciptakan semua itu. Apakah itu bunyi, warna, cahaya, bentuk, bahkan kepada pencipta dari manusia itu sendiri. Dialah Tuhan yang Maha Indah, pencipta segala keindahan. Dialah Tuhan yang Maha Kreatif, pencipta segala bentuk, warna dan bunyi. Intinya adalah, jalan apapun yang akan kita tempuh, selama kita berniat untuk mencari kebenaran sejati dan makna yang hakiki, semuanya akan bermuara kepada pengakuan kita terhadap keberadaan-Nya”.
            “Tunggu dulu !“, potongku. “Kau tadi mengatakan kitab suci adalah jembatan kita untuk mengenal-Nya. Bukankah ini absurd ? Kenapa Tuhan memerlukan perantara untuk berhubungan dengan kita ? kenapa Dia tidak menjelma saja di alam ini dan menampakkan diri-Nya secara langsung dihadapan kita ? Bukankah dengan perantara, maka Tuhan akan kehilangan ke-Maha Kuasa-an nya?”
            “Untuk kau garis bawahi, aku tak pernah menyatakan Tuhan akan kehilangan ke-Maha Kuasa-an nya dengan adanya wahyu. Itu hanyalah pendapat pribadimu saja. Memang benar tadi aku mengatakan bahwa salah satu cara Tuhan ‘berbicara’ dengan kita adalah dengan perantaraan wahyu. Namun, apakah itu berarti Tuhan memerlukan perantara ? Tidak ! Seandainya Dia ingin, tentulah apa yang kau katakan tadi amat mungkin terjadi. Namun karena Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang lah Dia tak melakukan hal itu. Kau tahu kenapa ? Seperti yang telah kukatakan tadi, kita dan Tuhan berada dalam dimensi yang amat berbeda. Kita dalam dimensi kodrati yang serba terbatas, sedangkan Dia dalam dimensi adikodrati yang tak mengenal batas. Analoginya begini, merkipun tidak terlalu tepat namun cukuplah untuk sedikit menggambarkan konsep ini. Kita dengan dimensi kita adalah sebuah telur, sedangkan Dia adalah Gunung. Sekarang apakah yang akan terjadi saat telur dan gunung itu bertabrakan ? tentu kau dapat menjawabnya sendiri bukan ? Begitu juga yang terjadi jika alam makhluk bertabrakan dengan alam Ilahi. Akan terjadi kehancuran dan kebinasaan terhadap alam makhluk, dikarenakan tidak mampunya dia untuk menampung segala ketakhinggaan dan ke-maha-an Tuhan. Nah, sedangkan Tuhan itu maha pemelihara atas ciptaan-Nya. Apakah mungkin Tuhan akan melakukan itu semua secara sembarangan ? “ tanyanya kepadaku.
            “Apakah kita sekarang sedang menuju konsep Hari Kiamat ?” tanyaku ragu-ragu
            “Bisa jadi. Karena menurutku, ingat ! menurutku, pada saat itulah batas antara kita dengan Tuhan dihilangkan. Namun, jangan kau artikan bahwa dengan hilangnya batas itu maka kitapun otomatis akan memiliki sifat ke-Ilahi-an sama seperti-Nya. Bukan ! walau bagaimana pun, kita tetaplah makhluk, dan Dia adalah Khaliq. Dia adalah pencipta, sedangkan kita adalah yang diciptakan.”
            Aku terdiam mendengar jawabannya.
            “Memang sobat, apa yang kita bicarakan panjang lebar tadi tak dapat dipahami dengan mudah. Akupun yakin bahwa konsepku masih jauh dari sempurna, masih perlu perenungan lebih lama dan lebih dalam. Aku yakin jalanku masih panjang menuju-Nya. Namun setidaknya aku berusaha bukan ?”.
            Aku tak dapat berkata apa-apa. Otakku menjadi terlalu penuh ketika memikirkan semua ini, setidaknya sampai saat ini. Kubenarkan pernyataan terakhirnya tadi, ternyata jalanku menuju Tuhan masihlah jauh. Usahaku dalam mengenali-Nya belumlah seberapa. Tiba-tiba sebuah perasaan rindu yang amat sangat melanda diriku. Tanpa sadar, sebutir air mengalir dari kelopak mataku…

DILANGIT


Dia bernama Sarman, sudah sebulan keadaannya begini. Tanpa sebab yang jelas dia sekarang selalu menunjuk-nunjuk langit, dan setiap yang bertanya kepadanya, hanya ada satu jawaban yang keluar dari mulutnya;
 “Dilangit…!”.
            Dulu dia tidaklah demikian. Walaupun hanyalah seorang pemuda dari keluarga kebanyakan, namun dia terkenal dengan kebaikan dan perilakunya yang ramah. Satu lagi yang membuatnya lain dari yang lain adalah, minatnya yang begitu besar kepada ilmu, bahkan sebagian besar waktunya dihabiskan untuk hobinya ini. Tak terhitung orang yang telah ditanyainya, tak terjumlah buku yang dibacanya. Selama dia menilai bahwa itu dapat mengobati kehausannya terhadap ilmu, maka dia akan mereguknya. Jadi tak heran,jika dia menjadi orang yang cerdas. Pikirannya terbuka dan wawasannya luas. Tak jarang dia menjadi tempat bertanya bagi penduduk yang lain saat mereka menghadapi suatu masalah, dan tentu saja dengan senang hati Sarman akan membantu sebisanya.
            Sarman tinggal tak jauh dari rumahku. Kami telah berteman sejak kecil. Mengaji bersama, pergi sekolah bersama (hanya pada tingkat SD saja, karena setelah itu dia tidak melanjutkan ke SLTP karena alasan ekonomi), mandi dikali bersama, atau bermain bola dan layang-layang bersama. Aku mulai jarang bersamanya saat oranguaku memutuskan untuk mengirimku kekota saat aku melanjutkan studiku saat SLTA sampai sekarang, saat aku telah menjadi seorang mahasiswa. Namun itu bukan berarti kami putus hubungan, malah hubungan kami makin akrab. Mungkin karena dia menganggap akulah yang dapat dijadikannya teman diskusi, tukar pendapat, dan berdebat. Temanya beragam, yang kebanyakan dia dapat dari berita yang dilihatnya di televisi milik tentangga sebelah rumahnya atau dari koran-koran yang dibacanya di kantor Camat. Jadi, bisa dikatakan selain keluarganya maka akulah yang merasa sedih atas perubahan dirinya itu.
            Akhirnya pada suatu kesempatan, pada saat liburan semester, aku memutuskan untuk menemuinya dan menanyakan sebab dari segala perubahan sikapnya. Aku pergi kerumahnya,namun sayang, aku mendapat jawaban bahwa sekarang ini dia lebih sering berada di dangau ladangnya yang berada di tepi hutan. Maka setelah sekedar berbasa basi, aku segera menuju kesana.
Ladangnya itu tak terlalu jauh dari rumahnya, kira-kira 15 menit berjalan kaki maka kita akan disampai disana. Aku masih ingat jalannya, karena dulu waktu kami masih kecil, lading itu menjadi salah satu tempat bermain kami. Masih teringat olehku saat kami kecil, saat bapaknya Sarman masih hidup, kami biasa tiba disana menjelang sore, saat bapaknya Sarman telah bersiap-siap hendak pulang. Unggunan rumput dan semak yang dibersihkan
            Dulu ladang ini begitu terpelihara. Berbagai tanaman pertanian semacam kulit manis, cengkeh, dan yang lainnya tumbuh dengan subur dibawah perawatan Sarman. Dia orangnya rajin dan termasuk tipe pekerja keras. Namun bekerja diladang bukan berarti dia melupakan hobinya, disela-sela istirahatnya, dia selalu terlihat sedang membaca buku, koran atau majalah yang dipinjamnya. Namun sekarang ladang itu tak ubahnya seperti hutan, hanya saja bedanya ladang ini tidaklah serimbun hutan, itu saja. Dengan cukup bersusah payah menerobos barisan semak dan aral akupun sampai didangaunya yang terletak ditengah ladang itu. Sejenak aku tak melihat adanya tanda kehidupan dan memutuskan untuk kembali seandainya tidak mendengar suara batuknya. Akupun bergegas menemuinya.
            “Apa kabar, Man ?”,sapaku. Dia yang sedang duduk di dangaunya tak menjawab. Matanya terus menatap keatas. Pipinya cekung, badannya kurus dan rambutnya berantakan. Jika ada yang masih tersisa ditubuh itu yang membuatku yakin bahwa yang berada didepanku itu adalah Sarman adalah sorot matanya. Sorot matanya tetap tajam dan jernih. Sorot mata seseorang yang cerdas…
            Tanpa memperdulikan ketakacuhannya, aku duduk disampingnya. Kupegang bahunya,” Ada apa Man ?”tanyaku.
Dia hanya menolehkan kepalanya kepadaku sambil tetap membisu. Untuk sesaat kami saling pandang. Hatiku iba, melihat temanku yang dulu ceria sekarang berubah seperti ini, tak beda dengan orang gila.
            “Ceritakanlah padaku, apa yang membuat kau seperti ini”.
            “Kau benar-benar ingin tahu ?” jawabnya tiba-tiba. Sambil tersenyum segera aku menganggukkan kepalaku.
            “Baiklah…” katanya kemudian. Dia memegang tanganku dan dengan isyarat telunjuknya menyuruhku untuk menutup mataku.
Aku segera melakukan apa yang dia perintahkan. Mulanya aku bingung dengan yang tengah kulakukan, karena tak terjadi apa-apa. Namun sesaat kemudian dari tangannya mengalir semacam hawa hangat yang kemudian masuk ketubuhku melalui tanganku yang dipegangnya. Kutatap dia menanyakan apa yang sedang terjadi, dia hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa. Lama kelamaan tubuhkupun menjadi panas. Mulanya dari perut lalu merambat keseluruh tubuhku. Bahkan perasaan panas itu semakin berkembang sehingga aku merasakan diriku terbakar. Tangannya yang memegang tanganku tak ubahnya menjadi besi yang membara, merah menyala. Aku meronta berusaha melepaskan tanganku, namun genggamannya begitu kuat sehingga tak mengizinkanku melaksanakan niatku. Sesaat berikutnya terjadi keanehan lain. Lantai dangau yang ku duduki tiba-tiba bergetar dengan kerasnya, tak ubahnya sedang terjadi gempa teramat besar. Aku panik, “Apa yang terjadi?”, batinku. Namun semakin aku berusaha menggerakkan tubuhku, semakin keras tangannya meremas tanganku. Emosi dan kemurkaan menjadi satu, ingin kupukul dia agar dia mau melepaskan diriku, namun bergerak sedikitpun aku tak bisa. Sementara panas yang berasal dari dalam tubuhku semakin menggila, membakar diriku dari dalam. Diakhir perjuanganku, akhirnya aku hanya bisa pasrah, biarlah apa yang terjadi terjadilah, toh sia-sia aku melawannya. Bila pada saat ini aku harus mati, aku rela, karena sebenarnya kematian itu telah ditentukan, caranya saja yang mungkin berbeda. Aku melepaskan segala perlawananku.
            Namun saat itulah kembali terjadi keanehan. Justru saat aku telah memasrahkan diriku, pada saat itulah panas yang kurasakan mereda. Kurasakan semacam kedamaian yang selama ini belum pernah aku rasakan. Namun walaupun begitu, lantai yang kududuki masih bergoncang, malah semakin keras. Tiba-tiba dia melepaskan tangannya, dan dalam hitungan sepersekian detik diriku terlontar dari lantai menuju keatas dengan kecepatan yang sangat tinggi. Herannya aku tak merasakan takut, malah ada semacam ketenangan menyusup ke sanubari.
            Sekelilingku seketika menjadi kabur. Berbagai bayangan silih berganti berlalu dengan cepatnya. Namun lama kelamaan lingkunganku menjadi buram, untuk kemudian menghitam. Tanpa sengaja kumelihat kebawah kakiku. Terlihat suatu pemandangan yang sangat mengejutkan. Dibawah kakiku tampak bumi yang selama ini aku tinggali menjadi semakin kecil dan semakin kecil, hingga akhirnya menjadi sebuah titik putih. Akupun mengedarkan pandanganku ke sekeliling, ternyata ada titik-titik yang lainnya. Bahkan sebahagian bersinar dengan terangnya.
            Aku tak tahu lagi apakah aku masih dalam keadaan melesat ataukah diam. Karena toh disekelilingku tak ada yang bisa dijadikan patokan. Aku berada di kawasan tak bertuan dari alam raya. Saat ini kurasakan betapa kecilnya bumi, matahari dan benda angkasa lainnya dibandingkan luasnya samudra hitam alam raya. Mereka terlihat tak lebih dari titik-tirik putih kecil yang tersebar berjauhan. Tiba-tiba tengkukku menjadi dingin, egoku mengkerut dihadapan ke-maha-luasan alam ini. Apalah arti segala kesombonganku selama ini jika sebenarnya aku hanyalah seperti debu, atau bahkan lebih kecil lagi, jika dibandingkan alam ini ? Sungguh naïf orang-orang yang dengan kekuasaannya yang sejumput merasa telah dapat menaklukkan semesta. Aku tertawa dalam risauku, ternyata manusia tak lebih dari makhluk bodoh dimana keangkuhannya telah melebihi eksistensinya.
            “Mengagumkan bukan ?” bisik sebuah suara dalam pikiranku. Suara itu mirip suara Sarman, maka akupun menoleh padanya. Namun saat aku menatapnya akupun menjadi terkejut. Tubuhnya menjadi bening, kulitnya menjadi transparan. Sehingga memperlihatkan setiap organ bagian dalamnya. Akupun memandang tanganku sendiri, ternyata keadaanku tak jauh berbeda. Daging dan kulitku telah menjadi tembus pandang. Serabut tali-temali berwarna merah yang saling melilit satu dengan yang lainnya saling isi dengan otot-otot dan urat-urat pada tubuhku. Saat kualihkan pandanganku kearah dada, ada seonggok kecil daging tempat bermuaranya tali-tali merah itu berkedut setiap saat. Kulihat juga paru-paru, usus, lambung dan yang lainnya. Mereka semua tak lebih dari onggokan daging belaka. Sungguh, saat aku melihat semua ini aku menyadari bahwa manusia pada dasarnya hanyalah oggokan daging yang lemah dan tak berdaya. Semuanya itu murah sekali rusak, mudah sekali untuk hilang. Sebagaimana onggokan daging yang lainnya, tak lebih dan tak istimewa …
            “Apa yang …”. Pertanyaanku terputus, sebab dia melintangkan jari telunjuknya didepan mulutnya. Lalu jari tersebut menunjuk kearah depan. Akupun menoleh kesana. Ternyata tanpa aku sadari, kami sedang melesat mendekati sebuah planet. Saat aku melihatnya dengan lebih seksama, ternyata itu adalah bumi.  Bumi tempat selama ini aku menghabiskan hidup. Bumi tempat aku dilahirkan dan pada nantinya aku akan dikuburkan. Pada awalnya aku gembira karena pada akhirnya aku akan segera pulang, namun setelah kupandang lebih seksama keningkupun berkerut. Ada suatu keanehan di bumi itu, diseluruh permukaannya sekarang penuh dengan bintik-bintik cahaya warna warni yang bergerak kian kemari. Kucoba untuk memutar kembali memori otakku untuk mencari-cari alasan atau setidaknya penjelasan atas fenomena yang sedang terjadi, namun aku menyerah. Dan pada akhirnya akupun berpaling padanya, Sarman. Dia hanya menatapku sambil tersenyum, lalu sebuah suara terdengar darinya,
            “Indah bukan ?”
            “Apa itu ?”
            “Kau tak tahu ?”
            “Tidak !”
            Cobalah kau lihat betul-betul, pasti kau akan tahu”.
            Akupun mengikuti sarannya, kutatap bintik-bintik cahaya itu lebih seksama, namun nihil.
            “Bagaimana ?”,tanyanya. Aku menggelengkan kepalaku.
            “Jangan kau pikirkan, namun rasakan. Niscaya kau akan tahu mereka”. Aku hanya dapat menarik napas panjang, namun kuturuti juga sarannya. Akupun berhenti untuk berpikir dan mencoba memahami cahaya-cahaya itu dengan perasaanku. Kutatap sebuah cahaya dan kufokuskan perhatianku kesana. Pada awalnya tak terjadi apa-apa, namun seiring dengan waktu, akupun merasakan suatu perasaan akrab timbul dalam hatiku terhadap cahaya itu. Aku seolah-olah telah mengenal cahaya itu sekian lama, namun untuk sekian lamanya juga telah aku abaikan. Tiba-tiba kudengar sebuah cicitan dari cahaya itu. Cahaya itu bergerak, dan akupun mendengar suara kepakan. Kucoba untuk lebih memfokuskan perhatianku pada cahaya itu, dan pada akhirnya cahaya itu menjelma menjadi seekor burung yang tengah terbang dan hinggap kesana-kemari.  Kualihkan pandanganku ke cahaya-cahaya lainnya. Ada kerbau, gajah, kera, manusia dan yang lainnya. Pada saat itu terlihat bumi penuh dengan cahaya, mereka saling bergerak dan saling mengisi, sangat indah dan begitu menakjubkan…
Saat kuterpana melihat cahaya-cahaya itu, pandanganku tiba-tiba terpaku pada satu cahaya yang berkedap-kedip dengan lemah, bagaikan diselubungi oleh semacam jelaga. Kupandangi daerah yang lainnya, ternyata jumlahnya cukup banyak juga. Bahkan ada satu cahaya yang sesaat sebelumnya bersinar dengan terangnya mendadak meredup kehilangan tenaga dan mulai berkedap-kedip seperti yang pertama tadi. Kudengar sebuah suara kembali menyelinap kedalam kepalaku, suara Sarman.
            “Cahaya-cahaya itu adalah jiwa dari makhluk yang bernyawa. Itulah esensi sebenarnya dari makhluk tersebut “.
            “ Lalu bagaimana dengan cahaya-cahaya yang melemah itu ?” tanyaku. “Apakah itu berarti mereka akan segera lenyap ?”.
            “Tidak, karena sebenarnya jiwa takkan pernah menghilang. Mereka bersifat abadi, dan pada akhirnya nanti akan kembali kepada yang Maha Abadi. Mereka meredup bukanlah karena mereka akan segera menghilang, mereka meredup karena mereka perlahan-lahan lupa akan kesejatian mereka. Selaput hitam yang kau lihat adalah kotoran yang melekat pada jiwa mereka. Kotoran-kotoran ini telah membuat mereka lupa akan hakekat diri mereka, kotoran-kotoran ini telah membuat mereka lupa akan keagungan dan kodrat mereka sebagai makhluk yang bernyawa. Mereka perlahan-lahan berubah menjadi tak lebih onggokan-onggokan organik yang telah kehilangan makna. Mereka itulah mayat-mayat hidup”
            Aku merasakan suatu kesedihan, entah mengapa, aku merasakan suatu kehilangan, aku merasakan rantai-rantai jiwa itu perlahan-lahan mulai keropos dan berguguran satu demi satu. Aku kembali melihat cahaya-cahaya itu, baik yang terang maupun yang terselubung kegelapan. Pada suatu ketika aku kembali melihat suatu keanehan, sebuah cahaya yang telah sangat redup entah negapa tiba-tiba bercahaya dengan sangat terangnya, bahkan lebih terang dari cahaya-cahaya yang ada disekitarnya.
            “Apa yang … “ kataku sambil menunjuk cahaya itu.
            “Itu adalah mereka yang kembali menemukan fitrah mereka”.
            “Tapi tadi mereka begitu redup “. Kataku.
            “Ya, namun mereka kembali sadar akan keberadaannya. Mereka sadar bahwa sebenarnya mereka bukanlah sekedar angka, mereka sadar bahwa sebenarnya mereka bukanlah sekedar onggokan daging saja. Mereka sadar bahwa sebenarnya mereka mempunyai tujuan. Mereka adalah tergolong orang-orang yang terbangunkan”.
            Pada saat itu berkebalikan dengan yang tadi, aku merasakan semacam perasaan bahagia dalam diriku. Seakan-akan akulah yang disana, seakan-akan akulah yang terbangunkan.
Saat aku sedang asik dalam kebahagiaanku, tiba-tiba ada sebuah tenaga yang berusaha menarikku. Sayup-sayup kudengar suara Sarman,      “Saatnya pulang …”
Seperti yang kualami ketika kumemulai perjalanan ini, tubuhkupun didera oleh sebuah kekuatan maha besar yang memaksaku untuk kembali ke bumi. Aku tak berdaya melawannya, sehingga aku hanya dapat pasrah menyadari diriku tengah jatuh bebas dengan kecepatan tinggi menuju bumi. Lautan hitam alam raya perlahan berubah dengan birunya langit.  Lambat laun kulihat lautan, awan pepohonan, gedung,gedung, rumah, sawah dan yang lainnya. Dan pada akhirnya aku melihat ladangnya Sarman. Mula-mula kecil, namun berangsur-angsur mebesar sehingga akhirnya aku dapat melihat dangau tempat aku tadi duduk bersama Sarman. Kurasakan kecepatanku semakin tinggi, sebentar lagi tentulah diriku akan hancur berantakan menghantam bumi. Akhirnya aku hanya dapat menutup mataku…
            Pada saat ku buka kelopak mataku, ternyata tak terjadi apa-apa atas diriku. Diriku masihlah utuh sebagaimana diriku sebelum semuanya ini dimulai. Kualihkan pandanganku kesamping, disana Sarman tengah duduk sambil memperhatikanku. Aku hanya dapat terdiam, kucoba untuk mencerna semua yang telah terjadi, namun tak berhasil. Akhirnya akupun menatap langit, sambil menerawang tanpa sadar ku berkata,
            “Dilangit …”.
            “Ya, dilangit”, sahut Sarman.

BUYUT NUR


Hari belumlah begitu gelap. Namun rumah-rumah penduduk di kampung itu telah terlihat lengang, tanpa penghuni. Hanya satu dua rumah yang tampak berisikan manusia, selebihnya kosong. Akupun menjadi terheran-heran, baru sekali inilah aku mengalami hal seperti ini. Kujelajahi isi kampung untuk mencari kedai yang masih buka, karena tuntutan perutku yang bernyanyi sejak tadi sore telah begitu memilukan. Tapi sungguh sial, tak satupun yang buka. Akhirnya dengan iba hati sambil mengeratkan ikat pinggangku, aku berjalan menuju kearah pintu keluar kampung ini. Walaupun aku rasa mustahil, namun aku berharap untuk dapat menemukan kampung berikutnya malam ini.
            Pada saat itulah disebuah perkarangan rumah penduduk, mataku yang telah mulai kabur menangkap bayangan sebuah batang pohon mangga. Pohonnya rimbun dengan buah yang terjuntai disana-sini. Ranum dan begitu menggoda. Mendadak perutku kembali protes, kali ini dengan cara yang agak keras. Sehingga untuk sesaat aku terbungkuk menahan peri.
            Kulihat kiri dan kanan. Masih seperti tadi, lengang dan sepi. Memang, diujung keputusasaan seorang manusia tak kan segan-segan untuk berbuat nekat. Dan itu kubuktikan sendiri pada malam itu. Dengan mengendap-endap, kudekati pohon itu. Untuk sesaat terjadi pergulatan batin antara moralitas dan kepentingan mempertahankan hidup dalam diriku, yang sudah pasti dimenangkan oleh kebutuhan biologis tubuhku yang amat membutuhkan makanan. Untuk menghibur nuraniku, aku berkilah bahwa apa yang akan kulakukan sekarang terjadi karena keterpaksaan. Dan juga aku berjanji padanya untuk mengganti buah yang akan makan nanti dengan membayarnya saat si pemilik pohon itu kembali.
            Mulailah aku melompati pagar, aman. Kudekati pohon itu sampai berhasil menyentuhnya, aman. Kupanjat pohon itu sampai ke suatu dahan yang lebat oleh buah, aman. Namun petaka muncul saat aku berusaha menjulurkan tanganku hendak meraih sebuah mangga yang tampak begitu gemuk dan ranum. Tanganku gemetar, sebagaimana tubuhku ikut bergetar. Bukan karena takut, namun karena memang tubuhku telah begitu lemah. Kupaksakan dengan tenaga terakhirku, tiba-tiba saja mataku berkunang-kunang, gelap untuk selanjutnya hitam.
            Saat kubuka mataku, aku telah berada disebuah ruangan,semacam bilik dengan pencahayaan berasal dari lampu minyak yang tergantung didekat pintu. Ada seseorang duduk didekatku, seorang perempuan paruh baya dengan seorang gadis tanggung sedang memperhatikanku.
            “Ah, sudah sadar kau kiranya” ucap wanita yang lebih tua. “Tadinya ibu khawatir kalau saudara kenapa-kenapa, syukurlah tidak.”
Aku hanya bisa tersenyum kecut, kesadaran dan pikiranku masih setengahnya bekerja, sehingga aku masih binggung kenapa aku bisa berada disini. Kedua wanita itu tetap memperhatikanku. Tiba-tiba wanita tua yang memanggil dirinya Ibu tadi tersentak seperti teringat sesuatu.
“Oh, ya. Sampai lupa aku. Sri, cepat bawakan nasi dan lauknya kesini. Tentulah anak muda ini sedang lapar perutnya.”Katanya sambil menoleh kesamping menghadap kearah wanita yang lebih muda. Wanita yang disuruh itu menganggukkan kepalanya untuk kemudian berlalu dari ruangan itu. Mendengar kata-kata; nasi, lauk dan lapar, semua ingatanku kembali dengan cepatnya. Teringat akan peristiwa saat aku sedang memanjat pohon mangga untuk kemudian aku perkirakan aku terjatuh dari atasnya. Akupun mengkerut, jangan-jangan…
“Jangan khawatir anak muda. Kau tadi kami temukan tergeletak pingsan dibawah pohon mangga kami. Kamipun membawa kau kedalam rumah” ucap ibu itu lembut membenarkan dugaanku. Aku jadi jadi makin mengkerut karena malu dan takut, takut dibawa kekantor polisi karena berusaha memaling pohon mangganya.
“Maaf bu, sebenarnya saya tidak bermaksud untuk …” sahutku terputus.
Ibu itu hanya mengeleng lembut dan tersenyum,”ah tidak masalah. Lagian ibu tahu kok kamu ini orang baik. Seandainya kamu memang jahat, tentunya rumah ibu yang kamu maling, bukannya pohon mangga itu. Ibu kira kamu sedang kelaparan bukan ?”, tanyanya kepadaku. Aku hanya bisa mengangguk lemah mengiyakan, tambah besar rasa malu dihatiku menghadapi kebaikan hatinya. Pada saat itu wanita yang disuruh tadi (yang kemudian kuketahui adalah anaknya) kembali dengan sepiring nasi lengkap dengan lauknya, perutkupun kembali protes dan berbunyi dengan amat kerasnya sampai-sampai akupun terkejut mendengarnya. Mereka tertegun beberapa saat, lalu tertawa kecil melihat tingkahku. Aku hanya bisa ikut tertawa, walaupun kuyakin sangatlah kecut. Setelah selesai dengan tertawanya, Ibu itupun mengambil piring yang dipegang anaknya, untuk kemudian menyerahkannya padaku dan mempersilahkanku untuk menyantap makanan yang ada diatasnya. Dengan sisa-sisa sopan santun yang masih tersisa aku menerima uluran tangannya, lalu makan dengan lahapnya sambil disaksikan oleh keduanya.
Setelah makanan itu habis tak bersisa, dan perutku merasa kenyang, mulailah kami berkenalan dengan semestinya. Aku ceritakan tentang perjalananku dan kenapa aku sampai di kampung ini. Sementara mereka bercerita tentang keluarga mereka dan pekerjaan mereka sebagai petani. Ternyata mereka cuma tinggal berdua, ditinggal kepala keluarga yang merantau ke kota.
Suatu saat, ditengah pembicaraan kami, akupun teringat akan keganjilan yang aku temukan saat aku memasuki kampung ini. Maka akupun menanyakan hal tersebut pada mereka.
“O, itu. Kamu pasti merasa heran bukan ?” yang kujawab dengan anggukan kepala. “Sebenarnya kami tidaklah berbeda dengan kampung yang lainnya, Nak. Cuma saja, waktu kamu masuk ke kampung kami bertepatan dengan hari peringatan Buyut Nur.”
“Hari peringatan Buyut Nur? Siapa dia ?” tanyaku makin heran.
“Wajar saja Anak tidak mengenalnya. Buyut Nur adalah salah satu nenek moyang dari kampung kami, yang kisah hidupnya telah menjadi legenda bagi kami. Sehingga sebagai bentuk penghornatan kami, setiap tahun kami memperingati hari yang konon adalah hari kelahirannya.”
Aku masih saja bingung, dan itu terbaca olehnya.
“Anak ingin tahu ceritanya bukan? Anak pasti heran kenapa sampai kami begitu menghormatinya. Bukan begitu? “. Dan lagi-lagi aku menganggukkan kepala.
Sejenak dia menarik napas panjang, bersiap-siap menceritakan legenda tentang Buyut Nur.
“Pada jaman dahulu kala, saat daerah ini masih berupa hutan rimba, tidak ada perkampungan disekitar sini selain dari kampung kami. Bisa dibilang pada saat itu kami adalah sebuah kampung pinggiran, dalam artian satu-satunya kampung yang berada paling dekat dengan rimba ini. Jumlah penduduk kampung ini dulunya sangatlah sedikit, dikarenakan banyak orang merasa takut untuk tinggal didaerah kami. Sehingga bisa dikatakan yang tinggal di kampung ini dulunya adalah orang-orang berani”. Ada sedikit nada bangga saat dia mengucapkan kalimat terakhirnya itu. Dia menoleh padaku yang kujawab dengan sebuah senyuman penghormatan. Lalu dia melanjutkan “Namun meskipun terdiri dari orang-orang yang paling berani, kamipun takut untuk berlama-lama berada didalam hutan. Karena rimba terkenal sebagai tempat para dewa bersemayam, sehingga sangatlah angker dan menakutkan. Para dewa yang menghuni hutan ini tergolong dewa-dewa berwatak kejam, yang tak jarang membunuh siapa saja yang tidak berkenan dihatinya ketika memasuki hutannya. Ditambah lagi pada masa-masa tertentu mereka terkadang meminta tumbal manusia untuk dikorbankan sekedar menyenangkan hati mereka. Kami sebagai manusia biasa tidak bisa berbuat apa-apa selain tunduk dan patuh pada mereka”
“Lalu semuanya berubah ketika Buyut Nur kembali kekampung ini. Dia kembali setelah sekian lama merantau keluar mencari berbagai kepandaian dan kesaktian guna memecahkan masalah kampung kami. Pada saat kepulangannya, dia mengumpulkan semua orang dirumahnya dan mengajak secara suka rela para penduduk yang mau ikut dengannya kedalam hutan untuk membunuh para Dewa !. Pada saat itu dia dianggap gila dan hilang ingatan. Banyak penduduk yang mencibirnya, namun dia tidaklah marah. Dengan tetap tersenyum dia berkata bahwa keesokan harinya dia akan pergi sendiri kedalam hutan untuk membunuh para Dewa seorang diri”
Sesaat dia berhenti untuk mereguk air yang ada digelasnya. Setelah dahaganya terpuaskan, dia melanjutkan ceritanya.
“Jadi begitulah, Buyut Nurpun pergi seorang diri. Dengan berbekalkan sebilah parang ditangannya dia berangkat sambil berjanji untuk kembali pada sore harinya. Banyak orang yang menertawakan kenekatannya sebagaimana banyak juga yang merasa kasihan kepadanya. Maka pada hari itu penduduk kampung menanti kedatangannya pada sore hari, harap-harap cemas. Walaupun sikap pesimis akan keberhasilan Buyut Nur demikian kuatnya, namun secercah harapan yang meskipun teramat kecil dihati kami mengharapkan dia berhasil melaksanakan rencananya. Akhirnya sore haripun tiba. Tanpa dikomando, seluruh penduduk kampung berdiri menanti dipintu gerbang menuju hutan. Matahari makin menghilang, sementara Buyut Nur masih belum kembali. Ada yang tidak sabar, lalu kembali pulang sambil menggerutu. Ada yang tertawa miris, menertawakan kebodohan kami untuk mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin. Namun adapula yang tetap bertahan dan masih merasa yakin. Setelah kira-kira hanya lima orang yang tinggal dipintu gerbang, pada saat itulah dari arah hutan terlihat sosok Buyut Nur berjalan dengan tenang. Di tangan kanannya tergenggam parang, sementara ditangan yang lainnya tergenggam sesuatu.
Spontan yang menungguinya measa amat gembira, walaupun masih merasa tidak percaya dengan penglihatannya. Setelah Buyut Nur telah berada dihadapan mereka, barulah segala sikap ketidakpercayaan mereka sirna. Buyut Nur berdiri dengan gagahnya,dengan baju ternoda percikan darah dan tangan menenteng kepala Dewa Pohon Beringin yang kerap mencuri ternak para penduduk.
Tentu saja peristiwa itu membuat geger seluruh kampung. Namun sebanyak orang yang gembira dengan berita keberhasilan Buyut Nur, sebanyak itu pula yang meragukannya dan mengatakan Buyut Nur seorang pendusta, mereka tidak percaya kepala yang dibawa Buyut Nur adalah Kepala Dewa Pohon Beringin yang sering meresahkan mereka. Namun lagi-lagi Buyut Nur tidak mempedulikan itu semua, malah dia tetap bersikap baik terhadap mereka yang memusuhinya.”
“Jadi apa benar kepala itu kepala Dewa Pohon Beringin?” tanyaku tak sadar. Si Ibu menoleh padaku, tersenyum dan menjawab pertanyaanku;
“Memang wajar bila banyak yang tak percaya. Namun setelah kejadian itu ternak para penduduk tak ada lagi yang hilang. Ditambah dengan kemurkaan Dewa Rimba sebagai pemimpin para dewa yang ada disitu yang meminta para penduduk untuk menyerahkan Buyut Nur sebagai tumbal. Kalau tidak, maka dia akan menghancurkan kampung kami.”
“Lalu?” Kataku tak sabar mendengar kelanjutan cerita ini.
“Ya, pada akhirnya semua penduduk percaya padanya. Namun tentu saja mereka merasa gentar dengan ancaman Dewa Rimba. Saat mereka mengadukan hal tersebut kepada Buyut Nur, dia malah bersikap tenang tanpa ada rasa ketakutan sedikitpun. Malah dia menyuruh kami untuk bersabar dan berdoa kepada Allah. Untuk Anak ketahui, pada waktu itu para penduduk tidaklah tahu maksud dari kata Allah. Karena sebelumnya kami terbiasa menyembah Dewa-Dewa. Lalu mulailah Buyut Nur mengajari kami tentang agama. Dikatakannya bahwa kita tak perlu takut pada para Dewa, karena mereka adalah makhluk, sama seperti kita. Kita hanya perlu takut kepada Allah, yang menciptakan segala makhluk. Dia juga mengajarkan bagaimana cara berdoa dan memohon kepadaNya, dan diapun mengajarkan aturan-aturan yang katanya berasal dari Allah. Dia juga membawa kitab-Nya, dan mengajari kami untuk membaca dan memahaminya, dan mendorong kami untuk selalu menuntut ilmu karena dengan ilmulah segala kebatilan dapat dihapuskan.”
“Jadi bagaimana dengan ancaman Dewa Rimba?”, tanyaku.
“Ya, begitu”,jawab Ibu mengantung. Akupun jadi bingung.
“Begitu? Begitu gimana bu?”
“Ya begitu. Akhirnya Buyut Nur bersama para penduduk kampung saling bahu-membahu untuk membunuh para Dewa itu satu persatu. Mulai dari Dewa Api, Dewa Sungai, Dewa Harimau, Dewa Tanah, sampai akhirnya Dewa Rimbapun berhasil mereka bunuh. Pada akhirnya hutanpun menjadi aman dari gangguan para Dewa. Orang-orangpun mulai berdatangan kesini untuk memulai hidup baru. Karena sebenarnya daerah kami ini memiliki tanah yang subur dan pengairan yang cukup setiap tahunnya. Kampung kamipun bertambah besar, semakin besar dan semakin besar lagi. Sehingga oleh Buyut Nur, yang saat itu telah menjadi kepala kampung, bersama dengan murid-murid kepercayaannya, memutuskan untuk memecah kampung ini menjadi dua. Begitulah seterusnya sampai pada akhirnya seluruh hutan telah berubah menjadi perumahan penduduk yang terdiri atas kurang lebih 10 kampung sampai saat ini.”
Ibu terbatuk-batuk kecil menyelesaikan ceritanya. Anaknya Sri segera memberikan gelas berikan air hangat untuk ibunya. Aku hanya dapat terdiam, sungguh fantastis cerita yang baru saja kudengar. Antara percaya dan tidak, logikaku beradu dengan kekaguman.
Tapi sikap diamku mungkin diartikan sebagai ekspresi tidak percaya oleh Ibu, dibuktikan dengan kata-katanya;
“Anak pasti tidak percaya dengan cerita yang Ibu ceritakan. Memang banyak yang menganggap cerita ini sebagai dongeng belaka, sebelum mereka akhirnya dapat membuktikannya.”
Akupun jadi terkejut, “Maksud Ibu apa?”
“Begini, dikampung ini masih ada kok yang keturunan langsung dari Buyut Nur. Tempatnya kira-kira 100 meter dari sini. Mudah kok menemukannya, cari saja bangunan megah dengan pagar beton dengan perkarangan yang luas. Ditengah-tengah bagunan itu biasanya terdapat salah satu dari keturunan Buyut Nur.”
“Oh, jadi rumahnya tidak jauh dari sini ya Bu?” tanyaku meastikan.
O,bukan. Yang tadi itu bukan rumahnya. Disitu itu kuburan Buyut Nur, hasil pembangunan dari para muridnya yang sangat menaruh hormat padanya. Kalau rumah keluarga keturunan Buyut Nur sih jauh. Mereka tersebar merata disetiap kampung. Istilahnya mereka menjadi keluarga Tetua dari setiap kampung. Kebetulan disini ada kuburannya, maka demi keadilan, para keluarganya bersepakat untuk tidak tinggal di kampung ini. Begitu ...”.
Aku kembali terdiam mencerna informasi yang barusan kudengar, ada sesuatu yang terasa ganjil disana.
“Duh, anak ini nggak mudah percaya ya! Gini saja, nanti waktu kamu udah agak kuat kamu pergi kesana untuk membuktikan kata-kata ibu. Lagian disana sekarang masih ramai kok. Masalahnya baru tadi malam acara perayaan hari Buyut Nur diadakan disana. Jadi masih banyak yang berdiam disana. Ada yang ziarah, menanyakan jodoh, atau minta rezeki. Atau kalau kamu mau kamu juga boleh mencobanya. Siapa tahu peruntungan kamu berubah setelah berdoa disana”
“Boleh juga bu” jawabku sekedar menyenangkan hatinya. Diapun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tak lama kemudian mereka pamit untuk tidur dan meninggalkan aku sendirian di kamar ini. Tak berapa lama kemudian akupun terlelap.
Besoknya setelah makan pagi, aku segera pamit dengan mereka. Tidak enak juga terlalu merepotkan orang. Mula-mulanya mereka terkejut dan bertanya apakah ada salah mereka sehingga aku memutuskan untuk cepat-cepat pergi dari sana. Namun setelah aku jelaskan bahwa masih banyak tempat yang aku tuju, akhirnya merekapun mengerti. Malah Sri segera bergegas menyiapkan bekal makan siang dijalan untukku, walaupun telah berkali-kali aku katakan bahwa mereka tidak perlu repot-repot. Namun mereka tetap bersikeras, dan untuk menyenangkan hati mereka akupun menerimanya. Sebelum aku meninggalkan rumah itu, Ibu masih sempat mengingatkanku untuk mengunjungi makam Buyut Nur.
Akhirnya, karena untuk memenuhi tanggung jawab moralku, akupun berkunjung ke makam Buyut Nur. Memang setelah mendengar cerita Ibu tadi malam aku telah membayangkan bagaimana kira-kira situasi dan suasana makam tersebut. Namun setelah aku lihat sendiri, aku hanya bisa ternganga, karena kenyataaannya jauh melebihi perkiraanku.
Apa yang disebut sebagai makam itu ternyata adalah sebuah bangunan yang berada disebuah tanah berukuran kira-kira 5 hektar persegi. Pagar sebagai pembatas daerah makam itu dengan kawasan luar terbuat dari beton yang penuh dengan pahatan dan ditempeli bermacam-macam porselen indah. Diatas pintu gerbang yang berbentuk gapura terdapat sebuah lempengan logam yang berukir tulisan-tulisan yang isinya menyatakan bahwa bangunan itu adalah kompleks pemakaman Buyut Nur dengan beberapa murid kesayangannya. Makin aku melangkah kedalam, aku jadi makin terkejut. Aroma dupa dan kembang begitu tajam menusuk hidung. Berbaur dengan bau kembang gula-gula, eskrim, bakso dan panganan lain yang mangkal didalamnya. Ditengah-tengah kawasan ini terdapat sebuah bangunan utama, berwarna putih dan bercorak tradisional. Tampak beberapa orang tengah khusuk dalam kegiatannya masing-masing mengelilingi tengah bangunan itu yang berbentuk persegi panjang. Dalam pikiranku pastilah itu makam Buyut Nur. Setelah aku berkeliling dalam kawasan ini (ternyata disamping bangunan utama, terdapat pula beberapa bangunan yang lebih kecil tersebar merata disekitar bangunan utama. Kuyakin itu semua adalah makam para murid Buyut Nur), akupun merasa lelah dan memutuskan untuk mencari tempat berisitirahat agak kepojok kawasan ini. Karena kulihat kawasan itu teduh oleh naungan dedaunan pohon beringin yang telah teramat tua. Namun saat aku makin mendekati pohon itu, aku jadi malu sendiri. Karena ternyata disana telah penuh dengan muda-mudi yang sedang asik memadu kasih. Bahkan ada beberapa pasangan yang beratraksi cukup gila yang membuatku jengah. Belum lagi bau wangi tajam yang berasal dari dupa-dupa yang diletakkan dibeberapa bagian dari pohon tersebut. Didekat dupa itu terdapat beberapa aksesoris lain seperti kertas, pena dan semacamnya yang tak kuketahui kegunaannya.
Akhirnya aku jadi capek sendiri. Akupun jadi teringat kembali akan perjalananku. Setelah beberapa lama berisitirahat disebuah kedai kopi yang terdapat didepan pintu gerbang, akupun segera melangkahkan kakiku meninggalkan kampung itu. Namun, untuk terakhir kalinya aku masih sempat untuk menoleh kebelakang yang melihat kembali kearah makam Buyut Nur. Biarlah kampung ini dengan legenda Buyut Nur-nya menjadi bagian dari memori perjalanan hidupku.

PINTU


Telah lelah kaki ini berjalan, namun tetap kupaksakan.
Letih jiwa ini, namun  tetap kumencari.
Buntu rasanya otak ini, namun tetap kupikirkan.
Padang rumput, hutan rimba dan samudra lepas telah kujelajahi, namun tak kutemukan apa yang kucari.
Asa yang kian lama kian padam, mati-matian kupertahankan.
 Karena kutakut jika seandainya itu sirna, maka aku akan berjalan dalam kegelapan.

     Akhirnya aku sampai disini. Hamparan padangpasir tandus tak bertuan. Mungkinkah pintu itu akan kutemukan disini? Kukuatkan kakiku yang telah gontai, kutegarkan jiwaku yang mulai lunglai. Kuterus berjalan sambil tetap menatap sekeliling, berharap pintu itu akan berada disana, entah kapan dan dimana.
     Malam gelap tanpa rembulan, aku berjalan berbekal sinar redup sang bintang, di garis horizon kulihat sesuatu yang amat cemerlang. Terang gemilang cahayanya. Mungkinkah itu yang selama ini aku cari? Tubuhku bergetar, perasaanku terkoyak. Sebuah perasaan rindu yang amat mendalam menghantam nuraniku. Bagai kesetanan aku berlari kesana. Namun saat kudekati, cahaya itu telah pindah. Sekarang berada disamping kiriku. Akupun berlari kesana, namun dia kembali pindah. Sekarang ada disamping kananku. Aku tetap berlari, mengejar tanpa peduli apa yang akan terjadi. Hal yang sama kembali terjadi. Sekarang dia pindah kebelakangku, ketempat dimana aku pertama kali mulai mengejarnya. Tak terasa sambil berlari aku terisak.

Wahai kau yang selama ini kukejar, kenapa kau begitu angkuh?
Tak pantaskah aku mendekatimu?
Begitu hinakah diriku untuk berdiri dihadapanmu?

Sedih yang bercampur dengan rindu saling bergumul dengan perpaduan keringat dan air mata yang terus mengucur dari diriku.
     Ah, disana kau rupanya. Akupun mulai mengendap-endap. Takut dia akan berpindah lagi. Selangkah, dua langkah, aku makin mendekat. Terasa cahayanya yang begitu agung menerpa diriku, menembus setiap pori tubuhku untuk kemudian menyerap kedalam tubuhku. Tiba-tiba cahaya itu bergeming. Akupun segera bersembunyi, takut jika dia melarikan diri lagi. Tiba-tiba sebuah suara dari cahaya itu menyapaku dalam persembunyian.
“Hai jiwa yang mencari. Kenapa kau bersembunyi disana? Kemarilah, aku ada disini.”
Sungguh, suara itu bagaikan sebuah nyanyian surga, terdengar begitu merdu dan menyejukkan. Ternyata benar, apa yag kucari ada disana. Tapi, aku takut. Takut jika dia hanya ingin memperdayaku dan mempermainkanku. Jangan-jangan saat aku menampakkan diriku, dia segera menghilang. Tidak, jangan, jangan pergi lagi. Aku telah muak dengan perjalanan ini.
“Kenapa kau masih disana, jiwa yang resah? Datanglah kemari. Cepatlah acara akan segera dimulai.”
“Aku takut” jawabku.
“Takut? Takut kepada siapa?” tanyanya lagi.
“Takut kepada dirimu”
“Kenapa kau takut pada diriku? Bukankah aku yang selama ini kau cari?” tanyanya.
“Aku takut kau hanya memperdayaku. Aku takut jika nantinya aku perlihatkan diriku, kau segera menghilang meninggalkan diriku. Sungguh, daripada melihat kau kembali menghilang, lebih baik aku disini mengagumimu”.
Sesaat tak terdengar jawaban. Aku menjadi panik, jangan-jangan dia tersinggung akan ucapanku? Apa yang telah aku lakukan? Perlahan-lahan aku mengintip dari tempatku bersembunyi. Ah, ternyata dia masih disana. Lega hati ini rasanya.
“Tak perlu takut, percayalah. Aku takkan menghilang lagi. Perlihatkanlah dirimu”, ujarnya.
“Apakah kau mau berjanji?” tanyaku memastikan.
“Aku berjanji” jawabnya.
“Demi Allah?” tambahku lagi.
“Demi Allah, yang nyawa setiap makhluk berada ditanganNya. Aku takkan mendustaimu. Datanglah kemari. Jika kita berjodoh, tentulah aku akan merasa sangat bahagia”
Tak terlukiskan kegembiraan yang meliputi hati ini. Tanpa membuang waktu, akupun segera menampakkan diriku. Ah, ternyata memang benar. Dia begitu indah, begitu cantik.
“Hai kekasihku, kenapa kau masih disana? Mendekatlah. Agar aku dapat mengenalimu dengan lebih baik”
Perlahan-lahan aku melangkah mendekat, setiap langkah yang kubuat semakin mendatangkan perasaan bahagia yang bertubi-tubi menghujam hatiku. Saat aku telah berada begitu dekat dengannya, kurasakan kedamaian yang selama ini tak pernah kudapatkan. Badanku menjadi begitu ringan, seakan melayang. Pikiranku menjadi begitu jernih, hatiku menjadi begitu tenang.
“Masuklah, masuklah melalui diriku. Disana mereka telah menunggumu” katanya memecah kesunyian.
“Mereka? Mereka siapa?” tanyaku cemburu. “Adakah orang lain didalam sana?”
Terdengar sebuah tawa merdu yang menertawakan kecemburuanku. Namun aku tak menjadi sakit hati, malah menjadi malu dengan kecemburuanku.
“Ketahuilah, setiap orang berhak untuk memiliki diriku. Selama mereka adalah insan yang sama seperti dirimu. Selama mereka memiliki tujuan yang sama seperti dirimu. Selama mereka bertekat untuk menuntaskan pencariannya, aku berhak untuk mereka miliki. Sebenarnya aku bukanlah milik siapa-siapa, hanya Allahlah pemilikku yang sebenarnya”
Aku jadi bertambah malu. Benar katanya, apa hakku untuk cemburu?
“Sudahlah, tak perlu kau membuang waktu berdiri disana. Masuklah cepat, karena mereka yang telah berada didalam sana tak sabar ingin menyambutmu. Telah mereka sediakan anggur bagi dirimu, telah dibunyikan musik menyambut kedatanganmu. Tarianpun telah dipersiapkan. Cepatlah masuk, pesta sebentar lagi akan dimulai.” Katanya makin menggoda.
“Tapi, bagaimana caranya?”, jawabku kebingungan.
“Tak tahukah kau?”tanyanya lagi.
“Sungguh aku tak tahu!”
“Benar-benar tak tahukah kau caranya?”
“Tolong jangan kau siksa lagi diriku! Aku benar-benar tak tahu bagaimana caranya! Beritahukanlah aku! Karena disana teman-temanku telah menungguku untuk berpesta. Cepatlah, beritahu aku!”
“Ah, kau jiwa yang malang! Kau bagaikan prajurit dimedan perang yang tak tahu siapa musuhnya. Kau bagaikan seorang buta yang tak tahu siang dan malam. Sungguh kasihan kau…”
Akupun mulai menangis, merengek seperti anak kecil. Kedamaian dan kebahagiaan yang sesaat tadi kurasakan sekarang terenggut dengan kasarnya, menyisakan perasaan cemas dan khawatir yang tak terhingga.
“Tanggalkanlah pakaianmu!” ucap suara itu lagi.
Akupun menurut, segera bergerak menanggalkan pakaianku. Tapi, ternyata pakaian yang kupakai seolah tak rela berpisah dari tubuhku. Mereka berubah menjadi begitu ketat dan begitu berat. Mencengkram badanku sejadi-jadinya.
“Apa yang terjadi?” tanyaku pada diriku sendiri
“Cepatlah, sebentar lagi kesempatanmu akan habis. Bersegeralah melakukannya” kata suara itu.
Aku menjadi panik, dan berusaha sekuat-kuatnya menanggalkan pakaianku. Akhirnya dengan usaha yang teramat sangat menyakitkan, aku berhasil menanggalkannya.
“Tanggalkan juga selopmu, karena disana kau takkan membutuhkannya”ujar suara itu lagi.
Kembali aku menurut, dan hendak menanggalkan selop yang berada ditelapak kakiku. Namun ternyata aku tak sanggup untuk mengangkat kakiku. Selop itu seakan berubah menjadi lumpur hidup atau jerat akar kayu yang memakukan kakiku keatas tanah. Aku kembali menangis, bahkan sekarang meraung terisak-isak. Berbagai cara kulakukan agar aku dapat melepaskannya, namun nihil.
Lalu dia berkata; “Hai insan, tampaknya kita belum berjodoh. Waktumu belum tiba, kau belum bisa masuk kedalamku”
“Jangan,jangan kau berkata begitu! Jangan kau tinggalkan aku lagi! Tolong, kumohon, beri aku sedikit waktu lagi untuk melepaskan selop ini. Kalau perlu akan memotong kakiku! Yang penting kau jangan pergi!” raungku sambil meninju-ninju kakiku sejadi-jadinya. Memang sakit, tapi jika sakit ini bisa melepaskanku dari selop itu, biarlah tak mengapa.
“Jangan kau paksakan. Tak akan ada hasil yang baik jika kau melakukannya dengan cara yang salah. Jangan kau menyesal, karena aku berjanji dengan Allah sebagai saksiku, bahwa aku akan datang kehadapanmu saat selop itu nantinya secara sukarela lepas dari dirimu. Sebagaimana pakaianmu nanti secara sukarela terlepas dari badanmu. Itulah janjiku padamu, jangan kau paksakan”
Aku menangis meraung-raung. Tapi walau bagaimanapun juga apa yang dia ucapkan benar.
“Lalu apa yang harus aku lakukan jika seandainya nanti pada suatu masa aku telah berhasil melepaskan pakaian dan selopku ini dengan semestinya? Kemanakah kau akan aku cari?” tanyaku lirih.
“Tidak, kau tak perlu mencariku. Karena sesungguhnya akulah yang akan mendatangimu saat semuanya itu terjadi. Bersabarlah dan teruslah berusaha. Semoga Allah melimpahkan rahmatNya sehingga kau berhasil mencapai apa yang kau idam-idamkan”.
Selesai berkata demikian, diapun perlahan mulai menghilang. Namun sesaat dia akan benar-benar sirna, kutangkap beberapa siluet  tergores dicahaya itu. Disana kulihat Rumi sedang menari, Hamzah khusuk membacakan syair sementara Sutarji khidmat mendengarkannya. Hafiz dan Jami’ sibuk berdebat dengan bahasa yang indah, sedangkan Ikbal larut dalam lamunannya.
sayup-sayup kudengar beberapa syair dibaca oleh Rumi yang hanyut dalam tariannya;

Oh Cahaya berseri, kemari
Limpahan rasa dan rindu, datanglah
Dari anda cinta melanda, mengapa pergi
Anda laksana matahari, laksana dekat hilang
Wahai yang dekat dikejauhan
Kemarilah Tuan