Translate

Kamis, 21 Maret 2013

NEGERI BANDIT

“Kau yakin mau melakukan ini?” tangannya tiba-tiba menggenggam bahuku dengan cukup keras.
“Tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa” jawabku. Kulepaskan tangannya dan menatap matanya. “Jangan takut, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Lagipula, bukankah negeri yang akan kita tuju adalah negeri impian? Dimana segala impian dan cita-cita dapat diraih?”
Dia hanya diam, namun dari sorot mata jelas terlihat kekhawatiran yang berkecamuk di kepalanya. Ini harus segera diselesaikan, agar natinya tidak menghambat misi ini.
“Bolehkah aku bertanya padamu?” tanyaku sambil mengajaknya duduk.
“Apa?” jawabnya pendek.
“Kau masih ingat tujuan perjalanan ini kan? Nun jauh dibalik cakrawala sana orang-orang kita sedang menunggu kita. Kelangsungan hidup negeri kita sedang dipertaruhkan, dan kitalah yang terpilih untuk menjemput obatnya kenegeri itu! Jadi tidak ada tempat untuk keragu-raguan. Ditangan kitalah terletak berhasil atau tidaknya misi ini”
“Maksudmu?” sambutnya pendek.
“Begini”. Kucari kata yang tepat agar nantinya dia tidak tersinggung, agar nantinya dia tidak merasa sebagai pihak yang menghalang-halangi misi ini. “Aku tahu bahwa kau, sebagaimana diriku, terpilih dari sekian banyak orang untuk mengemban misi ini. Kau terpilih karena kau dinilai sebagai salah satu putra terbaik yang pernah dimiliki oleh bangsa kita. Nah, tidak seharusnya engkau, sebagai orang yang terpilih dan dipercaya oleh negeri kita, mempertanyakan manfaat dari perjalanan ini untuk meminta obat dari mereka yang ada dinegeri itu” kataku sambil menunjuk gerbang negeri yang akan kami tuju. Memang, negeri itu sudah dekat. Mungkin hanya perlu beberapa langkah lagi untuk mencapainya.
“Ditambah lagi “ sambungku. “Bukankah negeri itu terkenal sebagai negeri yang makmur, beradab, berteknologi tinggi dan mempunyai kepribadian yang kuat? Jadi kenapa kau mempertanyakan integritas mereka? Kurasa memang sudah semestinya kita meniru mereka, belajar dari mereka, berusaha menjadi mereka”
“Entahlah,”jawabnya pendek. Matanya memandang kosong kelangit.
”Apa maksudmu ? ”
“Entahlah, aku tidak yakin!” sekarang dia menatapku dengan tajam.
“Dengar, aku tidak yakin dengan apa yang sedang kita kerjakan saat ini. Aku rasa kita telah berbuat kesalahan dengan mendatangi mereka!” katanya dengan kesal.
“Tunggu dulu!” kataku.” Kalau memang kau tidak setuju dengan misi ini, lalu kenapa kau tidak mengatakannya dulu saat kita akan memulai perjalanan ini? Sehingga kita tidak sia-sia jauh-jauh melakukan perjalanan ini?”
“Sudah!!!” teriaknya. “Tapi tak ada yang peduli! Mereka tetap menyuruhku untuk melakukan perjalanan ini”
“Oh, jadi maksudmu karena pendapatmu tidak diterima, maka kau merasa bahwa misi ini tidaknya seharusnya dilakukan? Bukankah tindakan seperti itu kekanak-kanakan?”cibirku.
“Hah, ternyata kau sama saja dengan mereka yang begitu tergesa-gesa dan mengejar sebuah utopia”
“Benarkah?” potongku. “Baik, anggap aku salah, tapi tolong kau tunjukkan dimana salahku” tantangku.
“Dengar, dengarkan baik-baik!” jawabnya. “Pertama, memang benar negeri kita sekarang sedang sakit. Tapi apakah itu berarti kita harus dengan kalapnya menerima obat yang ditawarkan orang tanpa peduli apakah obat itu memang cocok dengan penyakit yang sedang kita derita? Bukankah tidak mungkin bahwa obat yang mereka tawarkan tak lebih dari racun, yang tujuannya untuk membunuh kita agar pada nantinya mereka dengan leluasa mengacak-acak rumah kita dan menjarah segala isi rumah kita?”
“Ah, kurasa kau hanya melebih-lebihkannya saja” jawabku sambil tertawa kecil. “Ternyata kau hanyalah seorang paranoid yang suka mengeksploitasi sebuah masalah”
“Benarkah aku berlebih-lebihan? Ataukah aku hanya ingin bersikap rasional dan hati-hati? Memang, curiga bukanlah sikap yang dianjurkan, tapi bukankah percaya buta adalah suatu tindakan bunuh diri?”
“Ha…ha…ha… kau hanya membesar-besarkan masalah ini saja” tawaku geli sambil menepuk bahunya, namun dia segera menepis tanganku.
“Siapa bilang ini masalah yang kecil? Ini memang masalah yang besar! Keberlangsungan negeri kita selanjutnya bergantung atas apa yang akan kita lakukan hari ini!” tegasnya.
“Lagipula, anggaplah kalau mereka memang dengan tulus ingin menolong kita. Dan anggaplah kalau mereka memang ingin memberikan kita obat. Namun satu hal yang sering kita lupakan, dalam permasalahan ini kitalah yang lebih tahu apa yang sebenarnya kita perlukan. Belum tentu obat yang mereka berikan cocok dengan kita. Belum tentu saran yang mereka anjurkan sesuai dengan kondisi kita. Yang aku takutkan, negeri kita bukannya tambah sehat, malah menjadi lebih sekarat dan pada akhirnya hancur terlupakan.”
Dia berhenti sebentar untuk sekedar mengambil napas. Lalu melanjutkan, “Ditambah lagi fakta bahwa negeri yang akan kita tuju ini tidaklah sehebat yang kau kira. Predikat dan kredibilitasnya tidaklah setinggi yang kau bayangkan. Sejarah mencatat, selain sebagai sebuah negeri yang selalu berkoar-koar tentang persamaan derajat, disisi lain mereka adalah bangsa yang suka menindas dan memaksakan kehendaknya terhadap negeri lain. Mereka juga adalah sebuah negeri yang selalu mengatasnamakan kesejahteraan dan kemakmuran bersama, sementara dia sendiri adalah pencetus dan penyokong dari kapitalisme global yang selalu menghisap tenaga bangsa kita dengan harga yang murah untuk berjalannya roda-roda industri konsumerisme mereka”
Dia memandang ke ujung cakrawala, dimana negeri dan bangsa kami tengah menantikan kami, sekarat oleh luka-luka disekujur tubuhnya.
“Andai saja kita mau menggunakan sedikit saja logika, dan bukannya emosi sesaat, maka tentulah masalah ini tidak akan menjadi begitu rumit dan kompleks”
“Maksudmu?” tanyaku.
Dia terlihat agak sedikit tenang sekarang. Yah, mungkin saja dia hanya ingin didengar segala keluh kesahnya. Mungkin dia hanya mencari wadah untuk menumpahkan segala kekesalannya. Baiklah, aku akan menjadi wadah itu, lalu setelah semua ini selesai, tentunya misi ini akan dapat segera di lanjutkan.
“Maksudku begini, memang benar kita sedang sakit. Tapi daripada kita bersikap histeris dan menerima apa saja yang ditawarkan kepada kita, bukankah lebih baik jika kita mencari tahu dulu apa penyebab penyakit kita selama ini, barus setelah itu jelas apa obat yang kita perlukan. Dengan begitu segala salah kaprah yang terjadi saat ini dapat dihindari. Tidak terjadi keracunan, karena memakan obat flu untuk mengobati penyakit kanker yang sedang diidap”
Aku bingung, apakah harus tertawa atau tidak mendengar kata-katanya yang terakhir barusan. Karena aku tidak tahu apakah dia bermaksud untuk berkelakar atau tidak.
“Jadi, menurutmu apa sakit yang tengah diderita bangsa kita?” tanyaku.
“Ah kau ini!”,jawabnya. “Sekarang kita tidak sedang membicarakan itu. Yang kita permasalahkan sekarang adalah kemungkinan telah salah langkahnya kita dalam melakukan perjalanan ini”
“Oh, tidak bisa begitu”, sambutku. “Kau tadi mengatakan bahwa seharusnya kitalah yang mencari sendiri apa penyakit yang sedang bangsa kita alami. Namun sekarang kau mengaku bahwa kau tidak tahu. Bukankah itu sebuah kontradiksi?”.
“Teman. Masalahnya, persoalan yang sedang dihadapi telah begitu kompleks. Sehingga diperlukan waktu untuk merunutnya kembali menuju akar permasalahannya. Kita tidak bisa sembarangan mengira-ngira, lalu memberikan penilaian dan penafsiran dangkal yang hanya akan menhasilkan salah kaprah dan salah paham. Setiap orang punya versi sendiri-sendiri, namun bagaiamanpun juga, setiap persoalan haruslah diberikan kepada para ahlinya. Jangan sampai kita yang tidak mempunyai pengetahuan akan suatu hal ikut-ikutan menyampaikan sebuah pemecahan, karena pada akhirnya bukannya membantu, malah hanya akan memperburuk keadaan.”
“Ah, kau terlalu bertele-tele! Apa sebenarnya yang ingin kau katakan? “ potongku.
Dia tertegun sesaat, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatapku
“Kenapa tidak ada lagi kesabaran ? Mengapa setiap orang mengharapkan suatu pemecahan instan? “
“Tentu saja! Karena kita telah cukup bersabar selama ini! Aku telah muak dengan carut-marutnya negeri kita, sebagaimana orang-orang lain sama muaknya denganku melihat keadaan yang terjadi. Jadi, daripada kita duduk bersama untuk berbicara ini itu, yang tentunya akan memakan waktu yang amat sangat lama, bukankah lebih baik kita mencontoh, atau lebih tepatnya meminta tolong mereka yang telah mengalami penyakit ini terlebih dahulu untuk memberikan resep mereka kepada kita agar perubahan dapat segera terealisasi?”
“Tapi belum tentu obat yang mereka sarankan cocok dengan kita!”
“Hei, setidaknya kita telah mencobanya bukan?” jawabku.
“Lalu, jika seandainya memang tidak cocok?” tanyanya kembali
“Mudah saja, kita cari ngeri lain. Kita minta pendapatnya tentang negeri kita lalu kita ikuti sarannya. Tentunya dari sekian banyak negeri yang telah hebat tersebut, salah satunya akan cocok dengan kita”
“Konsep apa pula itu!” teriaknya.
“Apa maksudmu?” tantangku.
“Jadi kau lebih memilih untuk mencoba-coba dari sekian banyak obat yang ada sambil berharap salah satunya ada yang cocok, dibanding ide dimana kita sedikit lebih bersabar untuk duduk bersama-sama sesuai dengan kemampuan dan tingkat kita masing-masing dalam mencari apa penyebab sebenarnya dari penyakit yang tengah kita derita selama ini yang pada nantinya akan melahirkan suatu pemecahan yang paling cocok dengan kita?”
“Ya, memang itulah yang sebaiknya dilakukan. Ingat, kita sekarang menginginkan perubahan, bukannya suatu rumusan. Negeri ini telah muak dengan segala retorika, ide dan perdebatan tentang bagaiamana negeri ini seharusnya dibangun. Toh pada akhirnya semua itu tak lebih dari tong kosong yang nyaring bunyinya”
“Itu karena kita selama ini selalu menganggap bahwa diri kita yang paling hebat! Kita tidak mau duduk bersama dan meredam segala ego untuk mengutamakan logika. Kita lebih mencari ketenaran untuk dianggap sebagai orang pintar dibanding bermusyawarah untuk menghasilkan sebuah keputusan yang diperlukan.”
“Ah, letih aku berbicara denganmu.” Potongku. “Sekarang begini saja, apa sebenarnya keberatanmu jika kita menuju negeri itu?” kataku sambil menunjuk gerbang yang telah tampak dari tempat kami.
“Tentu saja aku keberatan!”, jawabnya setengah berteriak. “Negeri itu adalah negeri bandit, negeri para pencoleng dan tukang rampok. Negeri para barbar tak bermoral yang menjarah negeri-negeri disekitarnya. Makmur katamu? Memang benar mereka itu hidup dalam kemakmuran, namun harta yang mereka nikmati tak lebih dari harta berlumur darah dan air mata. Negeri itu tak lebih dari liang para serigala yang kelaparan yang selalu mengintai negeri yang lain. Negeri itu tak lebih dari tempat para penipu ulung, yang dengan lihainya mengambil harta kekayaan negeri lain. Mereka adalah para tukang sihir yang mampu menghipnotis orang agar menyerahkan apa yang mereka punya, bahkan bersedia dengan suka rela untuk menjadi budak mereka. Jadi, kutanyakan kembali padamu, pertolongan macam apa yang kita harapkan dari negeri seperti itu?”
“Diam!!!”, bentakku tak sabar. Telah muak aku mendengar segala ocehannya. “Dengar, jika kau tidak suka dengan semua ini, silahkan. Tapi itu tidak berarti kau berhak untuk melarangku menjalankan misi ini! Kau dengan segala prasangkamu, silahkan pergi ketempat yang kau suka. Namun aku akan tetap kesana, karena itulah tujuan perjalanan ini!”
Dia tertawa terbahak-bahak
“Setan! Apanya yang lucu?!”, teriakku
“Teman, tahukah apa sebenranya peranmu saat ini? Tak lebih dari pion !”. Dia kembali melanjutkan tawanya. “Ya, kau adalah pion, yang rela disuruh apapun dan kapanpun tanpa mau berpikir sedikitpun dengan apa yang dibebankan padamu. Tahukah kau apa yang akan menimpamu nanti?”
“Apa?”, tantangku.
“Jika kau berhasil dengan misi ini, maka kau mungkin akan diberi sedikit imbalan. Namun bagaimanapun juga bukan kau yang nantinya akan dipuji akan keberhasilanmu, namun mereka para penakut penjual negeri yang saat ini mungkin sedang berada di tempat pelesirannya di negeri kitalah yang mendapatkannya. Jika kau gagal, dan aku yakin itu yang akan terjadi, maka seisi negeri akan menudingmu sebagai penyebab kegagalan tersebut. Kau akan menjadi kambing hitam, sementara mereka-mereka yang mengutusmu akan berlindung menyelamatkan diri.”
Tanpa sadar, dikuasai oleh emosi yang telah demikian memuncak, tanganku bergerak dengan sendirinya menghantam mukanya. Cukup keras, karena kulihat dia sampai terduduk dibuatnya. Dari hidungnya keluar darah, namun anehnya dia masih bisa tertawa dan kembali mengejekku
“Ketahuilah, tinjumu ini jauh lebih ringan dibandingkan dengan apa yang akan kau terima nanti.” Dia mengusap darah yang keluar, menyeka dengan tangan seadanya, lalu kembali berdiri, “Baiklah, kau ingin kesana bukan? Aku tidak akan melarangmu lagi, karena terbukti percuma. Tapi aku tidak ikut denganmu, biarkan aku pulang. Mudah-mudahan nanti setelah kau kembali kita dapat bercengkrama seperti ini lagi.”
Dia tersenyum, lalu mempersilahkan aku meninggalkannnya. Akhirnya semua ini berakhir. Segera kubalikkan badanku, dengan yakin kulangkahkan kakiku menuju pintu gerbang negeri itu. “Tunggu aku, negeriku. Sebentar lagi akan kubawakan obat bagimu “

Tidak ada komentar:

Posting Komentar