Translate

Jumat, 31 Agustus 2012

KETIKA SURGA MENJADI BERHALA

Udara telah mulai terasa dingin. Dilangit bulan sabit bersinar redup. Aku tak sabar lagi menunggunya.  Kemarin dia datang kesini. Entah siapa dia, aku tak tahu. Tapi, bukan itu masalahnya.  Masalahnya justru apa yang telah dikatakannya padaku.  Dan terus terang hal itu telah sangat menyinggung perasaanku.  Kemarin, ketika kutantang dia, dia malah tersenyum dengan congkaknya, dan berkata bahwa dia akan datang lagi besok, yaitu hari ini, pada saat yang sama, sesudah sholat Isya.  Maka disinilah aku sekarang, menunggunya dengan penuh kegeraman.
            Dia akhirnya muncul.  Awalnya samar, dan perlahan mulai mewujud secara sempurna.
“Salam untukmu, saudaraku,”sapanya sambil tersenyum.
“Ah, hentikan segala basa-basi dan keramahan palsumu. Takutlah kau, karena sebenarnya aku mengetahui siapakah kau sebenarnya, Wahai Iblis laknat durjana !”.
Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman mengejek, “ Oh, benarkah ?  Kalau begitu, bukankah kau seharusnya mengusirku ? Atau, menghancurkanku ?”.
“Sombong benar kau. Pantaslah kau dilaknat Tuhan. Pergilah! tak ada tempat bagimu disini. Wahai makhluk yang dinista seluruh alam.”
Dia kembali tersenyum, senyum yang memuakkan. Akupun semakin geram.  Bibirku mulai membaca doa, tanganku terkepal, sambil tidak lupa membaca hapalan yang dulu diajarkan oleh temanku yang gunanya untuk mengusir roh halus. Dengan sebuah teriakan kecil, kutinju mukanya, “Enyahlah !”
Namun, akupun menjadi terkesima. Jangankan musnah, ekspresi kesakitanpun tak tampak dimukanya.
“Bagaimana ? Apa sudah kau rapal semua mantera-manteramu ? doa-doamu ? atau, mungkin ada yang terlupa ? Ayolah, aku masih ada disini menunggumu !”
Hatiku bertambah panas. Kucoba lagi, lagi dan lagi. Namun tak ada yang berhasil.  Akhirnya akupun menyerah dan terduduk kelelahan. Dia masih berdiri disana, dan dia masih menatap diriku. Dengan suara lirih aku bertanya padanya;
“Apakah sebenarnya maumu ? kalau kau ingin merendahkan diriku, kau telah mendapatkannya…”
“Oh, tidak. Aku tak bermaksud begitu. Aku hanya ingin mengobrol.  Berbincang-bincang antar teman lama. Karena, telah lama aku kesepian disana.”
“Disana? dimanakah itu? Kuburankah? hutan belantarakah? atau, neraka?”.
Dia kembali tersenyum, “Nanti kau akan tahu…”
Lama kami terdiam, kuberanikan diriku untuk kembali bertanya;
“Bolehkah aku bertanya ? Kenapa kau kemarin secara tiba-tiba datang padaku. Dan tanpa jelas maksudnya, kau menyebutku sebagai seorang munafik. Padahal, aku selalu rajin berbuat baik. Akui rajin beribadah, aku mengerjakan puasa, bahkan aku bersedekah dengan ikhlas. Lalu, mengapa kau masih menganggap aku adalah golongan orang-orang munafik ? jelaskanlah padaku”
Dia menatapku, dan menjawab, “ Justru dengan apa yang telah kau lakukan itulah yang menyebabkan kau menjadi golongan dari orang-orang munafik, wahai saudaraku “
Aku hanya terdiam, dan dia melanjutkan, “ Sekarang, aku akan bertanya padamu. Semua Ibadah, puasa, sedekah dan amal baik yang kau lakukan, untuk apakah semuanya itu ?”
Aku menelan ludah, dengan penuh keraguan aku menjawab, “mendapatkan pahala ?”
“Tepat, seperti perkiraanku. Sahabatku, disanalah kesalahanmu. Kau hanya melakukan semua ibadah, doa, puasa dan yang lainnyatak lebih untuk mengharapkan sejumlah pahala.  Bagimu itu semua tak lebih dari semacam perniagaan.  Makin banyak pahalamu, makin besar kemungkinan mendapatkan tiket kesurga. Sebaliknya, bila banyak dosamu, kau akan terlempar ke neraka. Bukankah begitu ?”
Akupun bangkit dari dudukku. Aku protes, “Hei, itu adalah kodrat alam.  Siapa yang berusaha, dia yang menikmati. Apakah aku salah jika aku mengharapkan surga ? manusia mana yang tidak suka kenikmatan? Lagi pula, jalan yang aku tempuh tidak salah, dan jalan itupun diberkati oleh Tuhan. Lalu, dimana salahnya?”
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, “Tahukah kau apa surga itu?”
Sungguh suatu pertanyaan yang aneh. Dalam hati aku menertawakan dirinya. Pertanyaan macam apa ini ? Tapi akhirnya aku menjwabnya juga ;
“Surga adalah sebuah tempat yang dipenuhi oleh kenikmatan, kebahagiaan, dan keceriaan. Surga adalah tempat bagi orang-orang yang selama hidupnya selalu berbuat baik dan beramal saleh”
“Kalau neraka?”,tanyanya lagi.
“Ya, tentu saja kebalikannya. Tempat penghukuman dan siksaan bagi mereka yang selalu berbuat dosa dan kenistaan” jawabku mantap.
“Kau hebat…”, katanya. Aku sedikit merasa tersanjung dengan kata-katanya itu.
“Kalau begitu, kau pasti bisa menjawab pertanyaanku selanjutnya.  Apakah Tuhan itu?”
“Tuhan katamu? Tuhan, ya… Tuhan. Pencipta langit dan bumi, pencipta segala sesuatu, dan pengatur segalanya.” Jawabku.
Dia menyeringai, matanya tajam menatap kearahku. “Betulkah? Apakah kau benar-benar mengenal-Nya? Sekarang, dimanakah Dia? Bagaimana ‘rupa’ Nya? Ataukah kau hanya pura-pura mengenal diri-Nya? Bagaimanakah pendapatmu jika kukatakan, Akulah Tuhan!”
Aku bergidik mendengar pernyataannya. Sungguh sudah keterlaluan dia bertindak. “Bukan ! kau bukan Tuhan. Kau penuh dengan kenistaan, sedangkan Tuhan penuh dengan nur keilahian. Bercahaya, terang benderang menyinari alam semesta !”
“Seperti ini maksudmu?”,tiba-tiba dia berubah menjadi sebuah bola cahaya besar yang memancarkan sinar putih mengagumkan. Sinarnya begitu indah, begitu mengagumkan.
“Tidak, tidak mungkin ! Kau bukan Tuhan ! Lagipula, Tuhan adalah Maha Pencipta. Tiada yang dapat menandinginya “
“Seperti ini ? “ dia berkata saat seekor burung tiba-tiba melesat dari dalam bola sinar itu. Burung itu begitu elok, berbulu putih, dan terbang kesana kemari dengan lincahnya
“Sihir ! ini pasti sihir ! tidak, kau bukan Tuhan. Hanya Tuhanlah yang menghidupkan dan mematikan makhluk ciptaan-Nya. Tidak, kau bukan Tuhan, bukan ?” kataku dengan lemah.
“Oh, seperti ini ? “,tiba-tiba dari dalam bulatan cahaya itu keluarlah selarik cahaya menuju burung tadi. Ketika burung itu terkena cahaya itu, burung itu terbakar, berubah menjadi abu, dan akhirnya lenyap ditiup angin.
Hatiku sakit. Aku tak rela dia berbuat semua hal tadi. Namun aku juga tak dapat berbuat apa-apa.  Aku sakit, aku bodoh dan aku lemah. Sebuah pengakuan hadir dalam diriku.  Aku tak mengenal Tuhanku sendiri. Karena jika aku kenal, tentunya dia takkan berani berbuat semua hal tadi didepanku. Dia takkan berani mengaku Tuhan dihadapanku, karena tentu saja akan sangat mudah untukku mematahkannya.  Itu jika aku kenal dengan Tuhanku. Akupun merasa hampa…
Dia kembali kewujud aslinya. Dia menatap diriku dengan iba. Dibiarkannya aku terisak-isak dalam tangis penyesalanku untuk beberapa saat.  Lalu dia berkata;
“Maaf, bila aku membuatmu terluka.  Namun ini harus kulakukan agar kau sadar.  Sudah saatnya kau mengenal Tuhan.  Ketahuilah, ibadah ada agar kita mengenal diri-Nya. Ibadah ada agar kita selalu ingat akan diri-Nya. Dan ibadah adalah pintu gerbang kita untuk menemukan diri-Nya.  Pada dasarnya, apalah arti dari pemujaan kita dibandingkan dengan pemujaan seluruh alam raya kepada diri-Nya ? Apalah arti amal baik kita dibandingkan dengan kebaikan bumi yang menumbuhkan berbagaimacam tumbuhan serta hewan-hewan untuk kita makan ? atau seberapa besarkah pengorbanankita jika dibandingkan dengan pengorbanan sang mentari yang membakar dirinya untuk menerangi alam ? Ibadah adalah kesempatan kita untuk mengenal diri-Nya, ibadah adalah kesempatan untuk berhubungan dengan-Nya. Apalagi yang dapat menandingi kebahagian seorang musafir dipadang gurun ketika menemukan sebuah oase yang menghidupkan ? Atau, adakah kebahagiaan yang lebih besar saat kita sebagai makhluk dapat bertemu dengan sang Khalik yang Maha akan segalanya ?  Janganlah kau meletakkan Surga dan Neraka diatas Tuhan. Dimana kau jadikan Surga sebagai tujuanmu dan menempatkan Tuhan hanya sebagai pemulus jalanmu menuju surga.  Sebenarnya surga diciptakan bukan untuk dipuja, hanya Tuhanlah yang patut dipuja. Sahabatku”
Dia kembali tersenyum. Perlahan-lahan diapun menghilang. Namun sebelum dia menghilang, aku sempat bertanya kepadanya “ Siapakah kau ?”
Dan sebuah sura yang entah dari mana menjawab pertanyaanku,”akulah nuranimu. Jangan lagi kau meninggalkan diriku, jangan biarkan aku kesepian disini…”
Malam semakin larut, udara bertambah dingin. Sementara sang rembulan masih bersinar diatas langit. Aku meringkuk dipojok kamar dalam kehampaanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar