Translate

Jumat, 31 Agustus 2012

SEPENGGAL CERITA DI TENGAH MALAM


“Kau bilang alam ini hidup ? sungguh sebuah konsep yang menggelikan !” bantahku.
            “Kenapa tidak ? Karena itulah kenyataannya !” tukasnya tak mau kalah.
            “Terangkan padaku !” tantangku.
            Dia terdiam, tampak berpikir untuk mengajukan alasannya.
            “Baiklah, sekarang mari kita defenisikan dulu suatu perkara yang amat penting. Sekarang aku bertanya padamu, apakah arti khaliq dan makhluk?” Sekarang akulah yang terdiam. Akupun berfikir keras lalu mengajukan sebuah jawaban.
            “Sepengetahuanku, Klaliq adalah sang pencipta, kreator agung alam ini. Dialah Tuhan. Sedangkan makhluk adalah segala yang diciptakan.”
            “Jadi jelas Khaliq dan makhluk berbeda bukan?”
            Akupun mengangguk, dia meneruskan kata-katanya.
            “Nah, kita sebagai manusia terkadang melakukan kesalahan yang fatal atas pengertian tadi. Walaupun kita mengakui perbedaan antara makhluk dan khaliq, namun kita sering mencampuradukkan keduanya. Dalam artian sering kita memakhlukkan khaliq atau sebaliknya menghkaliqkan makhluk. Sehingga terjadi kerancuan antara keduanya, dan kitrapun menjadi tersesat. Mungkin ini ada kaitannnya dengan sifat manusia yang tidak bias membayangkan sesuatu yang tidak pernah di indra secara langsung olehnya. Sehingga banyak yang secara tak sadar mengambil jalan pintas dengan melekatkan sifat-sifat kemakhlukan pada sang khaliq.”
            “Lalu apa kaitannya dengan alam yang hidup ?”, tanyaku tak mengerti.
Dia kembali terdiam. Tampak sedang asik dengan pikirannya sendiri.
            “Maksudku begini,” katanya tiba-tiba. “Kita sebagai makhluk takkan pernah terlepas dari hokum sebab akibat. Dalam artian bahwa kita akan selalu berproses. Karena itulah setiap yang diciptakan akan mengalami kehancuran, setiap ada awal akan selalu ada akhir. Semua itu disebut proses, karena sebenarnya akhir dari sesuatu adalah awal dari sesuatu yang baru. Dan itulah yang terjadi, sebuah siklus yang tak terputus. Memang bila kita mendefinisikan hidup secara sempit sebagai sebuah proses yang selalu berhubungan dengan bernapas dan makan, tentu saja batu itu adalah benda mati. Namun jika kita mau mengkajinya lebih dalam, sebenarnya proses bernapas dan makan itu tak lebih dari sebuah siklus energi belaka. Dimana satu bentuk energi berubah menjadi bentuk energi yang lainnya. Bila kita bertolak dari sudut pandang ini, maka tampaklah bahwa sebenarnya alam itupun hidup ! Masih ingatkah kau saat kita masih di SMA dulu ? waktu itu kita diajarkan bahwa sebenarnya pada setiap zat terdiri atas atom-atom yang menyusunnya. Dimana setiap atom selalu dikitari oleh electron. Pertanyaan yang akan timbul adalah, apa yang menyebabkan electron-elektron itu dapat selalu berputar mengelilingi intinya ? Energi ! Jadi ternyata benda-benda yang selama ini kita pandang sebagai benda mati pada dasarnya adalah hidup ! Karena mereka senantiasa bergerak, dan gerak adalah salah satu ciri dari kehidupan bukan ? “.
            Aku terdiam sesaat, mencoba mencerna kata-katanya. Lalu ada sesuatu yang melintas dipikiranku yang langsung kutanyakan padanya,
            “Jadi kau ingin mengatakan, bahwa Tuhan itu … mati ?”. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu menatap tajam kepadaku.
            “Apa ?”, kataku penasaran.
            “Tahukah kau apa yang baru saja kau lakukan ? Ternyata kaupun terjebak disana sobat. Masih ingatkah kau dengan apa yang kita bicarakan sebelumnya ? bahwa dalam keterbatasan kita, kita berusaha memahami Tuhan dengan melekatkan segala sifat kemakhlukan kepada-Nya. Dan itulah yag baru saja kau lakukan !, Dia, Tuhan sang khaliq adalah Sang Pencipta. Dia terbebas dari segala sifat ciptaan-Nya. Dia berada di dimensi keilahian yang tanpa batas dan tak terbayangkan. Memang, saat kita membaca kitab suci, kita akan dapati bahwa Tuhan itu mendengar, Tuhan itu melihat, hidup atau pengasih. Namun tentu saja mendengar, melihat dan hidup disini tidaklah sama dengan mendengar, melihat dan hidup yang kita alami. Hidupnya Tuhan adalah hidup yang adikodrati, sedangkan hidupnya kita adalah hidup yang kodrati. Saat kita secara tidak sengaja menyamakan sifat dari hidup-Nya dengan hidup kita, maka pada saat itulah kita secara tidak sadar telah menarik-Nya kestatus yang sama dengan diri kita, yaitu makhluk ! Bukankah dengan bertindak demikian kita telah merendahkan-Nya ?”
            “Jadi… bagaimana kita dapat memahaminya?” Dia terdiam dan tertunduk. Sebuah kehampaanpun tercipta. Sampai pada suatu ketika diapun memcah kesunyian itu,
            “Memang, bila kita telah sampai pada titik ini, kita akan merasakan adanya suatu dinding pembatas antara Dia dengan kita. Kita tak ubahnya menjadi anak-anak ayam yang kehilangan induknya, kebingungan mencari kesana kemari. Namun untunglah Tuhan tidak benar-benar meninggalkan kita. Dia Maha Pemelihara atas ciptaan-Nya. Dia Maha Bijaksana, sehingga dengan kebijaksanaan-Nya kita selalu diberikan bimbingan dan tuntunan untuk mengenal-Nya. Tahukah kau apakah itu ? itulah kitab suci ! yang diturunkan-Nya kepada manusia-manusia pilihan-Nya. Didalam kitab suci terdapat petunjuk-petunjuk untuk dapat memahami-Nya. Salah satunya adalah dengan cara memperhatikan segala ciptaan-Nya dan memikirkannya. Lihatlah alam semesta, tata surya, planet-planet beserta isinya. Mereka begitu bervariasi, begitu beragam. Namun didalam keberagaman dan perbedaan itu, mereka tunduk pada suatu aturan yang menyebabkan mereka dapat bergerak secara harmonis dan saling mengisi. Sekarang logikanya, tak mungkin aturan itu ada dengan sendirinya bukan ? Atau sama mustahilnya dengan mengatakan bahwa segala kerumitan dari hubungan-hubungan yang terjadi dalam semesta adalah sebuah kebetulan belaka ! Pada saat itulah maka kita akan tiba pada suatu kesimpulan bahwa ada sesuatu yang Maha Kuasa, Maha Cerdas dan Maha Pencipta menciptakan aturan-aturan tersebut. Pada saat itulah maka kehadiran Tuhan akan kita rasakan, malah sebenarnya kita perlukan !”.
            Dia terhenti sebentar, untuk sekedar mengambil napas. Setelah itu diapun melanjutkan,
            “Atau kita bisa juga mendekati-Nya melalui keindahan. Saat kita mendengarkan sebuah alunan musik, memandang sebuah lukisan, memahami sebuah bentuk ukiran dan bangunan, maka akan timbul suatu rasa kekaguman. Pertama-tama kekaguman itu kita tujukan kepada benda-benda itu, pada tahap selanjutnya kita pun akan mengagumi si pembuat benda itu. Namun, pada titik akhir, semua kekaguman itu akan tertuju kepada sesuatu yang menciptakan semua itu. Apakah itu bunyi, warna, cahaya, bentuk, bahkan kepada pencipta dari manusia itu sendiri. Dialah Tuhan yang Maha Indah, pencipta segala keindahan. Dialah Tuhan yang Maha Kreatif, pencipta segala bentuk, warna dan bunyi. Intinya adalah, jalan apapun yang akan kita tempuh, selama kita berniat untuk mencari kebenaran sejati dan makna yang hakiki, semuanya akan bermuara kepada pengakuan kita terhadap keberadaan-Nya”.
            “Tunggu dulu !“, potongku. “Kau tadi mengatakan kitab suci adalah jembatan kita untuk mengenal-Nya. Bukankah ini absurd ? Kenapa Tuhan memerlukan perantara untuk berhubungan dengan kita ? kenapa Dia tidak menjelma saja di alam ini dan menampakkan diri-Nya secara langsung dihadapan kita ? Bukankah dengan perantara, maka Tuhan akan kehilangan ke-Maha Kuasa-an nya?”
            “Untuk kau garis bawahi, aku tak pernah menyatakan Tuhan akan kehilangan ke-Maha Kuasa-an nya dengan adanya wahyu. Itu hanyalah pendapat pribadimu saja. Memang benar tadi aku mengatakan bahwa salah satu cara Tuhan ‘berbicara’ dengan kita adalah dengan perantaraan wahyu. Namun, apakah itu berarti Tuhan memerlukan perantara ? Tidak ! Seandainya Dia ingin, tentulah apa yang kau katakan tadi amat mungkin terjadi. Namun karena Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang lah Dia tak melakukan hal itu. Kau tahu kenapa ? Seperti yang telah kukatakan tadi, kita dan Tuhan berada dalam dimensi yang amat berbeda. Kita dalam dimensi kodrati yang serba terbatas, sedangkan Dia dalam dimensi adikodrati yang tak mengenal batas. Analoginya begini, merkipun tidak terlalu tepat namun cukuplah untuk sedikit menggambarkan konsep ini. Kita dengan dimensi kita adalah sebuah telur, sedangkan Dia adalah Gunung. Sekarang apakah yang akan terjadi saat telur dan gunung itu bertabrakan ? tentu kau dapat menjawabnya sendiri bukan ? Begitu juga yang terjadi jika alam makhluk bertabrakan dengan alam Ilahi. Akan terjadi kehancuran dan kebinasaan terhadap alam makhluk, dikarenakan tidak mampunya dia untuk menampung segala ketakhinggaan dan ke-maha-an Tuhan. Nah, sedangkan Tuhan itu maha pemelihara atas ciptaan-Nya. Apakah mungkin Tuhan akan melakukan itu semua secara sembarangan ? “ tanyanya kepadaku.
            “Apakah kita sekarang sedang menuju konsep Hari Kiamat ?” tanyaku ragu-ragu
            “Bisa jadi. Karena menurutku, ingat ! menurutku, pada saat itulah batas antara kita dengan Tuhan dihilangkan. Namun, jangan kau artikan bahwa dengan hilangnya batas itu maka kitapun otomatis akan memiliki sifat ke-Ilahi-an sama seperti-Nya. Bukan ! walau bagaimana pun, kita tetaplah makhluk, dan Dia adalah Khaliq. Dia adalah pencipta, sedangkan kita adalah yang diciptakan.”
            Aku terdiam mendengar jawabannya.
            “Memang sobat, apa yang kita bicarakan panjang lebar tadi tak dapat dipahami dengan mudah. Akupun yakin bahwa konsepku masih jauh dari sempurna, masih perlu perenungan lebih lama dan lebih dalam. Aku yakin jalanku masih panjang menuju-Nya. Namun setidaknya aku berusaha bukan ?”.
            Aku tak dapat berkata apa-apa. Otakku menjadi terlalu penuh ketika memikirkan semua ini, setidaknya sampai saat ini. Kubenarkan pernyataan terakhirnya tadi, ternyata jalanku menuju Tuhan masihlah jauh. Usahaku dalam mengenali-Nya belumlah seberapa. Tiba-tiba sebuah perasaan rindu yang amat sangat melanda diriku. Tanpa sadar, sebutir air mengalir dari kelopak mataku…

2 komentar: