Translate

Jumat, 31 Agustus 2012

DILANGIT


Dia bernama Sarman, sudah sebulan keadaannya begini. Tanpa sebab yang jelas dia sekarang selalu menunjuk-nunjuk langit, dan setiap yang bertanya kepadanya, hanya ada satu jawaban yang keluar dari mulutnya;
 “Dilangit…!”.
            Dulu dia tidaklah demikian. Walaupun hanyalah seorang pemuda dari keluarga kebanyakan, namun dia terkenal dengan kebaikan dan perilakunya yang ramah. Satu lagi yang membuatnya lain dari yang lain adalah, minatnya yang begitu besar kepada ilmu, bahkan sebagian besar waktunya dihabiskan untuk hobinya ini. Tak terhitung orang yang telah ditanyainya, tak terjumlah buku yang dibacanya. Selama dia menilai bahwa itu dapat mengobati kehausannya terhadap ilmu, maka dia akan mereguknya. Jadi tak heran,jika dia menjadi orang yang cerdas. Pikirannya terbuka dan wawasannya luas. Tak jarang dia menjadi tempat bertanya bagi penduduk yang lain saat mereka menghadapi suatu masalah, dan tentu saja dengan senang hati Sarman akan membantu sebisanya.
            Sarman tinggal tak jauh dari rumahku. Kami telah berteman sejak kecil. Mengaji bersama, pergi sekolah bersama (hanya pada tingkat SD saja, karena setelah itu dia tidak melanjutkan ke SLTP karena alasan ekonomi), mandi dikali bersama, atau bermain bola dan layang-layang bersama. Aku mulai jarang bersamanya saat oranguaku memutuskan untuk mengirimku kekota saat aku melanjutkan studiku saat SLTA sampai sekarang, saat aku telah menjadi seorang mahasiswa. Namun itu bukan berarti kami putus hubungan, malah hubungan kami makin akrab. Mungkin karena dia menganggap akulah yang dapat dijadikannya teman diskusi, tukar pendapat, dan berdebat. Temanya beragam, yang kebanyakan dia dapat dari berita yang dilihatnya di televisi milik tentangga sebelah rumahnya atau dari koran-koran yang dibacanya di kantor Camat. Jadi, bisa dikatakan selain keluarganya maka akulah yang merasa sedih atas perubahan dirinya itu.
            Akhirnya pada suatu kesempatan, pada saat liburan semester, aku memutuskan untuk menemuinya dan menanyakan sebab dari segala perubahan sikapnya. Aku pergi kerumahnya,namun sayang, aku mendapat jawaban bahwa sekarang ini dia lebih sering berada di dangau ladangnya yang berada di tepi hutan. Maka setelah sekedar berbasa basi, aku segera menuju kesana.
Ladangnya itu tak terlalu jauh dari rumahnya, kira-kira 15 menit berjalan kaki maka kita akan disampai disana. Aku masih ingat jalannya, karena dulu waktu kami masih kecil, lading itu menjadi salah satu tempat bermain kami. Masih teringat olehku saat kami kecil, saat bapaknya Sarman masih hidup, kami biasa tiba disana menjelang sore, saat bapaknya Sarman telah bersiap-siap hendak pulang. Unggunan rumput dan semak yang dibersihkan
            Dulu ladang ini begitu terpelihara. Berbagai tanaman pertanian semacam kulit manis, cengkeh, dan yang lainnya tumbuh dengan subur dibawah perawatan Sarman. Dia orangnya rajin dan termasuk tipe pekerja keras. Namun bekerja diladang bukan berarti dia melupakan hobinya, disela-sela istirahatnya, dia selalu terlihat sedang membaca buku, koran atau majalah yang dipinjamnya. Namun sekarang ladang itu tak ubahnya seperti hutan, hanya saja bedanya ladang ini tidaklah serimbun hutan, itu saja. Dengan cukup bersusah payah menerobos barisan semak dan aral akupun sampai didangaunya yang terletak ditengah ladang itu. Sejenak aku tak melihat adanya tanda kehidupan dan memutuskan untuk kembali seandainya tidak mendengar suara batuknya. Akupun bergegas menemuinya.
            “Apa kabar, Man ?”,sapaku. Dia yang sedang duduk di dangaunya tak menjawab. Matanya terus menatap keatas. Pipinya cekung, badannya kurus dan rambutnya berantakan. Jika ada yang masih tersisa ditubuh itu yang membuatku yakin bahwa yang berada didepanku itu adalah Sarman adalah sorot matanya. Sorot matanya tetap tajam dan jernih. Sorot mata seseorang yang cerdas…
            Tanpa memperdulikan ketakacuhannya, aku duduk disampingnya. Kupegang bahunya,” Ada apa Man ?”tanyaku.
Dia hanya menolehkan kepalanya kepadaku sambil tetap membisu. Untuk sesaat kami saling pandang. Hatiku iba, melihat temanku yang dulu ceria sekarang berubah seperti ini, tak beda dengan orang gila.
            “Ceritakanlah padaku, apa yang membuat kau seperti ini”.
            “Kau benar-benar ingin tahu ?” jawabnya tiba-tiba. Sambil tersenyum segera aku menganggukkan kepalaku.
            “Baiklah…” katanya kemudian. Dia memegang tanganku dan dengan isyarat telunjuknya menyuruhku untuk menutup mataku.
Aku segera melakukan apa yang dia perintahkan. Mulanya aku bingung dengan yang tengah kulakukan, karena tak terjadi apa-apa. Namun sesaat kemudian dari tangannya mengalir semacam hawa hangat yang kemudian masuk ketubuhku melalui tanganku yang dipegangnya. Kutatap dia menanyakan apa yang sedang terjadi, dia hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa. Lama kelamaan tubuhkupun menjadi panas. Mulanya dari perut lalu merambat keseluruh tubuhku. Bahkan perasaan panas itu semakin berkembang sehingga aku merasakan diriku terbakar. Tangannya yang memegang tanganku tak ubahnya menjadi besi yang membara, merah menyala. Aku meronta berusaha melepaskan tanganku, namun genggamannya begitu kuat sehingga tak mengizinkanku melaksanakan niatku. Sesaat berikutnya terjadi keanehan lain. Lantai dangau yang ku duduki tiba-tiba bergetar dengan kerasnya, tak ubahnya sedang terjadi gempa teramat besar. Aku panik, “Apa yang terjadi?”, batinku. Namun semakin aku berusaha menggerakkan tubuhku, semakin keras tangannya meremas tanganku. Emosi dan kemurkaan menjadi satu, ingin kupukul dia agar dia mau melepaskan diriku, namun bergerak sedikitpun aku tak bisa. Sementara panas yang berasal dari dalam tubuhku semakin menggila, membakar diriku dari dalam. Diakhir perjuanganku, akhirnya aku hanya bisa pasrah, biarlah apa yang terjadi terjadilah, toh sia-sia aku melawannya. Bila pada saat ini aku harus mati, aku rela, karena sebenarnya kematian itu telah ditentukan, caranya saja yang mungkin berbeda. Aku melepaskan segala perlawananku.
            Namun saat itulah kembali terjadi keanehan. Justru saat aku telah memasrahkan diriku, pada saat itulah panas yang kurasakan mereda. Kurasakan semacam kedamaian yang selama ini belum pernah aku rasakan. Namun walaupun begitu, lantai yang kududuki masih bergoncang, malah semakin keras. Tiba-tiba dia melepaskan tangannya, dan dalam hitungan sepersekian detik diriku terlontar dari lantai menuju keatas dengan kecepatan yang sangat tinggi. Herannya aku tak merasakan takut, malah ada semacam ketenangan menyusup ke sanubari.
            Sekelilingku seketika menjadi kabur. Berbagai bayangan silih berganti berlalu dengan cepatnya. Namun lama kelamaan lingkunganku menjadi buram, untuk kemudian menghitam. Tanpa sengaja kumelihat kebawah kakiku. Terlihat suatu pemandangan yang sangat mengejutkan. Dibawah kakiku tampak bumi yang selama ini aku tinggali menjadi semakin kecil dan semakin kecil, hingga akhirnya menjadi sebuah titik putih. Akupun mengedarkan pandanganku ke sekeliling, ternyata ada titik-titik yang lainnya. Bahkan sebahagian bersinar dengan terangnya.
            Aku tak tahu lagi apakah aku masih dalam keadaan melesat ataukah diam. Karena toh disekelilingku tak ada yang bisa dijadikan patokan. Aku berada di kawasan tak bertuan dari alam raya. Saat ini kurasakan betapa kecilnya bumi, matahari dan benda angkasa lainnya dibandingkan luasnya samudra hitam alam raya. Mereka terlihat tak lebih dari titik-tirik putih kecil yang tersebar berjauhan. Tiba-tiba tengkukku menjadi dingin, egoku mengkerut dihadapan ke-maha-luasan alam ini. Apalah arti segala kesombonganku selama ini jika sebenarnya aku hanyalah seperti debu, atau bahkan lebih kecil lagi, jika dibandingkan alam ini ? Sungguh naïf orang-orang yang dengan kekuasaannya yang sejumput merasa telah dapat menaklukkan semesta. Aku tertawa dalam risauku, ternyata manusia tak lebih dari makhluk bodoh dimana keangkuhannya telah melebihi eksistensinya.
            “Mengagumkan bukan ?” bisik sebuah suara dalam pikiranku. Suara itu mirip suara Sarman, maka akupun menoleh padanya. Namun saat aku menatapnya akupun menjadi terkejut. Tubuhnya menjadi bening, kulitnya menjadi transparan. Sehingga memperlihatkan setiap organ bagian dalamnya. Akupun memandang tanganku sendiri, ternyata keadaanku tak jauh berbeda. Daging dan kulitku telah menjadi tembus pandang. Serabut tali-temali berwarna merah yang saling melilit satu dengan yang lainnya saling isi dengan otot-otot dan urat-urat pada tubuhku. Saat kualihkan pandanganku kearah dada, ada seonggok kecil daging tempat bermuaranya tali-tali merah itu berkedut setiap saat. Kulihat juga paru-paru, usus, lambung dan yang lainnya. Mereka semua tak lebih dari onggokan daging belaka. Sungguh, saat aku melihat semua ini aku menyadari bahwa manusia pada dasarnya hanyalah oggokan daging yang lemah dan tak berdaya. Semuanya itu murah sekali rusak, mudah sekali untuk hilang. Sebagaimana onggokan daging yang lainnya, tak lebih dan tak istimewa …
            “Apa yang …”. Pertanyaanku terputus, sebab dia melintangkan jari telunjuknya didepan mulutnya. Lalu jari tersebut menunjuk kearah depan. Akupun menoleh kesana. Ternyata tanpa aku sadari, kami sedang melesat mendekati sebuah planet. Saat aku melihatnya dengan lebih seksama, ternyata itu adalah bumi.  Bumi tempat selama ini aku menghabiskan hidup. Bumi tempat aku dilahirkan dan pada nantinya aku akan dikuburkan. Pada awalnya aku gembira karena pada akhirnya aku akan segera pulang, namun setelah kupandang lebih seksama keningkupun berkerut. Ada suatu keanehan di bumi itu, diseluruh permukaannya sekarang penuh dengan bintik-bintik cahaya warna warni yang bergerak kian kemari. Kucoba untuk memutar kembali memori otakku untuk mencari-cari alasan atau setidaknya penjelasan atas fenomena yang sedang terjadi, namun aku menyerah. Dan pada akhirnya akupun berpaling padanya, Sarman. Dia hanya menatapku sambil tersenyum, lalu sebuah suara terdengar darinya,
            “Indah bukan ?”
            “Apa itu ?”
            “Kau tak tahu ?”
            “Tidak !”
            Cobalah kau lihat betul-betul, pasti kau akan tahu”.
            Akupun mengikuti sarannya, kutatap bintik-bintik cahaya itu lebih seksama, namun nihil.
            “Bagaimana ?”,tanyanya. Aku menggelengkan kepalaku.
            “Jangan kau pikirkan, namun rasakan. Niscaya kau akan tahu mereka”. Aku hanya dapat menarik napas panjang, namun kuturuti juga sarannya. Akupun berhenti untuk berpikir dan mencoba memahami cahaya-cahaya itu dengan perasaanku. Kutatap sebuah cahaya dan kufokuskan perhatianku kesana. Pada awalnya tak terjadi apa-apa, namun seiring dengan waktu, akupun merasakan suatu perasaan akrab timbul dalam hatiku terhadap cahaya itu. Aku seolah-olah telah mengenal cahaya itu sekian lama, namun untuk sekian lamanya juga telah aku abaikan. Tiba-tiba kudengar sebuah cicitan dari cahaya itu. Cahaya itu bergerak, dan akupun mendengar suara kepakan. Kucoba untuk lebih memfokuskan perhatianku pada cahaya itu, dan pada akhirnya cahaya itu menjelma menjadi seekor burung yang tengah terbang dan hinggap kesana-kemari.  Kualihkan pandanganku ke cahaya-cahaya lainnya. Ada kerbau, gajah, kera, manusia dan yang lainnya. Pada saat itu terlihat bumi penuh dengan cahaya, mereka saling bergerak dan saling mengisi, sangat indah dan begitu menakjubkan…
Saat kuterpana melihat cahaya-cahaya itu, pandanganku tiba-tiba terpaku pada satu cahaya yang berkedap-kedip dengan lemah, bagaikan diselubungi oleh semacam jelaga. Kupandangi daerah yang lainnya, ternyata jumlahnya cukup banyak juga. Bahkan ada satu cahaya yang sesaat sebelumnya bersinar dengan terangnya mendadak meredup kehilangan tenaga dan mulai berkedap-kedip seperti yang pertama tadi. Kudengar sebuah suara kembali menyelinap kedalam kepalaku, suara Sarman.
            “Cahaya-cahaya itu adalah jiwa dari makhluk yang bernyawa. Itulah esensi sebenarnya dari makhluk tersebut “.
            “ Lalu bagaimana dengan cahaya-cahaya yang melemah itu ?” tanyaku. “Apakah itu berarti mereka akan segera lenyap ?”.
            “Tidak, karena sebenarnya jiwa takkan pernah menghilang. Mereka bersifat abadi, dan pada akhirnya nanti akan kembali kepada yang Maha Abadi. Mereka meredup bukanlah karena mereka akan segera menghilang, mereka meredup karena mereka perlahan-lahan lupa akan kesejatian mereka. Selaput hitam yang kau lihat adalah kotoran yang melekat pada jiwa mereka. Kotoran-kotoran ini telah membuat mereka lupa akan hakekat diri mereka, kotoran-kotoran ini telah membuat mereka lupa akan keagungan dan kodrat mereka sebagai makhluk yang bernyawa. Mereka perlahan-lahan berubah menjadi tak lebih onggokan-onggokan organik yang telah kehilangan makna. Mereka itulah mayat-mayat hidup”
            Aku merasakan suatu kesedihan, entah mengapa, aku merasakan suatu kehilangan, aku merasakan rantai-rantai jiwa itu perlahan-lahan mulai keropos dan berguguran satu demi satu. Aku kembali melihat cahaya-cahaya itu, baik yang terang maupun yang terselubung kegelapan. Pada suatu ketika aku kembali melihat suatu keanehan, sebuah cahaya yang telah sangat redup entah negapa tiba-tiba bercahaya dengan sangat terangnya, bahkan lebih terang dari cahaya-cahaya yang ada disekitarnya.
            “Apa yang … “ kataku sambil menunjuk cahaya itu.
            “Itu adalah mereka yang kembali menemukan fitrah mereka”.
            “Tapi tadi mereka begitu redup “. Kataku.
            “Ya, namun mereka kembali sadar akan keberadaannya. Mereka sadar bahwa sebenarnya mereka bukanlah sekedar angka, mereka sadar bahwa sebenarnya mereka bukanlah sekedar onggokan daging saja. Mereka sadar bahwa sebenarnya mereka mempunyai tujuan. Mereka adalah tergolong orang-orang yang terbangunkan”.
            Pada saat itu berkebalikan dengan yang tadi, aku merasakan semacam perasaan bahagia dalam diriku. Seakan-akan akulah yang disana, seakan-akan akulah yang terbangunkan.
Saat aku sedang asik dalam kebahagiaanku, tiba-tiba ada sebuah tenaga yang berusaha menarikku. Sayup-sayup kudengar suara Sarman,      “Saatnya pulang …”
Seperti yang kualami ketika kumemulai perjalanan ini, tubuhkupun didera oleh sebuah kekuatan maha besar yang memaksaku untuk kembali ke bumi. Aku tak berdaya melawannya, sehingga aku hanya dapat pasrah menyadari diriku tengah jatuh bebas dengan kecepatan tinggi menuju bumi. Lautan hitam alam raya perlahan berubah dengan birunya langit.  Lambat laun kulihat lautan, awan pepohonan, gedung,gedung, rumah, sawah dan yang lainnya. Dan pada akhirnya aku melihat ladangnya Sarman. Mula-mula kecil, namun berangsur-angsur mebesar sehingga akhirnya aku dapat melihat dangau tempat aku tadi duduk bersama Sarman. Kurasakan kecepatanku semakin tinggi, sebentar lagi tentulah diriku akan hancur berantakan menghantam bumi. Akhirnya aku hanya dapat menutup mataku…
            Pada saat ku buka kelopak mataku, ternyata tak terjadi apa-apa atas diriku. Diriku masihlah utuh sebagaimana diriku sebelum semuanya ini dimulai. Kualihkan pandanganku kesamping, disana Sarman tengah duduk sambil memperhatikanku. Aku hanya dapat terdiam, kucoba untuk mencerna semua yang telah terjadi, namun tak berhasil. Akhirnya akupun menatap langit, sambil menerawang tanpa sadar ku berkata,
            “Dilangit …”.
            “Ya, dilangit”, sahut Sarman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar