Translate

Jumat, 31 Agustus 2012

SANG PENJAGAL


Asap hitam membubung keangkasa, berasal dari puing-puing logam dan bangunan yang terbakar disana-sini. Sementara kaok burung gagak berkumandang menyanyikan sebuah orkestra kematian dan kehancuran. Mentari bersinar jingga diufuk, memberitahu sang dewi kegelapan agar bersiap menggantikannya.
            Sesosok siluet manusia tampak diantara puing-puing itu, tak jelas darimanakah dia berasal, namun dia telah berada disana. Seorang lelaki paruh baya dengan rambut yang mulai menipis berwarna putih dan muka yang penuh dengan guratan-guratan dalam perjalanan sang waktu. Dengan sebatang tongkat dia tertatih berjalan dari satu puing menuju puing yang lainnya. Menghampiri setiap sosok jasad yang mulai membusuk tergeletak dibawahnya.
Suatu ketika dia mendengar suara rintihan, diapun bergegas menuju sumber suara itu. Diantara reruntuhan bangunan dan serpihan-serpihan logam dia menemukan apa yang dicarinya, seorang lelaki muda dengan tubuh penuh luka menganga sedang meregang nyawa.
            “Salam untukmu anak muda. Apakah kau mendengarkanku?” tanyanya lembut sambil memapah tubuh tersebut kepangkuannya. Si anak muda mengangguk perlahan yang diiringi rintihan kesakitan.
            “Baiklah. Apakah kau penyembah Tuhan, anakku ?”
            Sesaat tak ada jawaban, namun pada akhirnya terlihat sebuah anggukan.  Pak Tua terdiam sesaat, lalu dengan suara yang berirama bagai sebuah mantra diapun berkata;
            “Wahai jiwa yang tersakiti, kembalilah kau pada Tuhanmu. Wahai sang penguasa seluruh jiwa, terimalah dia dan berilah kedamaian yang selama ini tidak didapatkannya !” Selesai berkata demikian, pak tua merogoh bajunya. Terlihat sebuah belati berkarat berwarna hitam dengan noda bekas-bekas darah disana-sini  tergenggam ditangannya. Dengan tenang belati itupun ditikamkannya tepat di jantung si pemuda. Sesaat terdengar erang kesakitan, kemudian tubuh itupun tak bergerak, diam untuk selamanya.
            Pak tuapun menurunkan tubuh kaku itu dari pangkuannya. Dengan segera dia berdiri dan menatap jasad yang terbujur dihadapannya. Setelah membungkuk mendoakan sekaligus memberikan penghormatan terakhir, diapun berlalu pergi.
            Setelah berjalan kesana kemari untuk beberapa saat, dia kembali menemukan sesosok manusia yang tengah sekarat. Isi perutnya terburai, sementara bagian pinggang kebawah tampak hangus menghitam terbakar. Bau amis darah dan daging terbakar tercium keras dari tubuh itu. Pak tua mendekat perlahan, kemudian dia membungkuk mendekati sosok itu.
            “Pejamkanlah matamu sekali jika kau mendengar suaraku”, katanya pada tubuh itu. Tak berapa lama kemudian tampak sebuah kedipan dari wajah rusak sang pemilik tubuh itu.
            “Baiklah. Apakah kau penyembah Tuhan, saudaraku? pejamkan matamu sekali jika iya, pejamkan dua kali jika tidak.” Kata pak tua itu melanjutkan.
            Dari wajah yang rusak itu terlihat kedipan dua kali, pak tua pun paham apa yang harus dilakukannya. Dengan tenang dipapahnya tubuh itu kepangkuannya. Terdengar sebuah kalimat keluar dari mulutnya;
“Hai manusia. Sungguh kau telah berada diujung perjuanganmu. Biarlah segala ideologi yang kau yakini selama ini beristirahat dengan tenang bersama tubuhmu. Cukup sudah perjuanganmu sebagai bukti eksistensimu di dunia ini.”
Kembali dia merogoh belatinya, dan dengan tenangnya belati itu digorokkannya keleher orang itu. Terdengar sebuah suara gerau yang dalam mengiringi semburan darah yang memancur dari sana. Lalu, semuanya terhenti, diam. Diapun terdiam, untuk sesaat tak bergerak. Rona keletihan tampak diwajahnya yang uzur itu.
            Tanpa disadarinya, sepasang mata ketakutan tengah memandang kearahnya. Ketakutan dari sang pemilik mata itu akan keberadaan si orang tua, ketakutan akan mengalami nasib yang sama dengan orang yang dibunuh pak tua tadi.
            Tapi, sungguh celaka. Sebatang logam tersenggol olehnya ketika dia sedang beringsut bergerak menjauh. Suara logam itu cukup keras, dan pasti dapat didengar oleh pak tua. Dan benar saja, ketika dia menoleh kebelakang, pak tua sedang mendekat kearahnya.
“Jangan, jangan dekati aku! menjauhlah! kumohon…”, teriaknya memelas. “Kumohon, lepaskanlah aku. Demi kemanusiaan, atau apapun perasaan yang masih tersisa padamu. Aku berjanji tak akan menceritakan kepada siapapun atas apa yang telah kau perbuat. Tapi kumohon, lepaskanlah aku!”
“Tenanglah, apa yang kau takutkan? Aku takkan menyakitimu”, jawab pak tua sambil tersenyum lembut. Sementara satu tangannya menyelinap kebalik jubahnya.
“Berhenti! kalau tidak, aku takkan segan-segan untuk berbuat kasar padamu pak tua! “ teriak si pemuda sambil menggenggam sebatang besi runcing yang ditemukan di reruntuhan. “Jangan kau kira aku tak tahu apa yang akan kau perbuat terhadap diriku, wahai sang pembantai! sudah cukup bagiku untuk mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya, tukang jagal !”
“Tukang jagal? Aku? Sungguh tega kau melemparkan tuduhan itu padaku anak muda” jawab pak tua dengan wajah kebingungan. “Cukup sudah Dia yang diatas sana tahu apa yang sebenarnya tengah aku lakukan”, tambahnya dengan raut sedih.
Si pemuda tersenyum sinis, “kurasa tak perlu Tuhan untuk menjelaskan siapa dirimu. Dibalik topengmu sebagai orang tua ringkih tak berdaya, bersemayam sosok iblis yang haus darah. Kau dengan gilanya berjalan kesana-kemari menghampiri manusia-manusia sekarat dan membunuhnya dengan belati yang kau simpan!”
“Apa? Belati ini?”, jawab pak tua mengeluarkan belatinya. “Apa maksudmu aku pembunuh? Tidak! Aku bukanlah pembunuh, kaulah pembunuh, kalianlah pembunuh !” teriaknya keras-keras. Suaranya sedih menyayat hati.
Sipemuda makin ketakutan. “Ternyata pak tua ini selain kejam juga terganggu jiwanya,” batin si pemuda.
“Hei anak muda! pertanggungjawabkan kata-katamu! kenapa kau tuduh aku seorang pembunuh?!”
Dengan gagap sipemuda menjawab,”bu…bukankah K…kau tadi menghampiri mereka. lalu membunuh mereka satu persatu?”
Pak tua terdiam. Wajahnya kembali menjadi tenang,” Tidak, anakku. Salah, kau salah. Bukan aku yang membunuh mereka, namun mereka sendirilah yang membunuh diri mereka. Aku bukan membunuh, tapi hanya sekedar membantu meringankan penderitaan mereka. Aku hanya menolong untuk menemukan kembali apa yang selama ini telah hilang dari diri mereka, yaitu kedamaian. Lagipula sebenarnya kalianlah yang pantas disebut sebagai pembunuh. Dengan dalih perdamaian, kalian kobarkan perang, kalian cabut ketenangan, kalian matikan pemikiran-pemikiran yang berbeda dengan kalian. Kalian merasa, kalianlah yang mampu berpikir, kalian paksakan kebenaran kalian kepada yang lain dengan dalih perdamaian. Atau dikesempatan yang lain berdalih dengan kemakmuran dan keselamatan. Apakah kau lihat kemakmuran diantara puing-puing ini? Apakah kau menemukan keselamatan pada bangkai-bangkai menghitam yang terbakar oleh senjata kalian? Apakah kalian merasakan kegembiraan? Apakah ini yang dinamakan hidup? Omong kosong !”
 Sang pemuda terpana, takjub.
“Apa dan Siapakah kau sebenarnya orang tua?”
Pak tua mengalihkan pandangannya. Menerawang kesuatu tempat dimasa yang silam.
“Aku bukanlah apa-apa dan siapa-siapa, jika dibandingkan keluasan alam semesta. Dulu aku pernah menjadi dirimu, yang rela mati-matian membela apa yang kuanggap benar, untuk selanjutnya kupaksakan kepada yang lain. Sampai pada suatu masa, semua yang kuyakini tersebut perlahan-lahan mulai menggerogoti dan mengambil semua yang ada pada diriku. Istriku, hartaku, kekayaanku dan penerusku. Namun, pada saat itu aku masih begitu sombong dengan diriku, dan menganggap semua itu adalah pengorbanan yang wajar bagi seorang martir kebenaran. Sampai akhirnya dia mengambil satu-satunya tersisa dari diriku, kedamaian! Saat itulah aku sadar bahwa apa yang selam ini aku perjuangkan adalah sia-sia belaka. Sebab, apa artinya sebuah perjuangan jika jiwa kita tak lagi menemukan kedamaian didalamnya. Akupun mulai mempertanyakan apa yang selama ini aku anggap benar, mulailah kusadari kesalahanku, dan mencari akan kebenaran semesta, kedamaian hakiki. Namun ternyata kedamaian tak mau mendatangiku lagi, jijik melihat segala dosa yang telah kuperbuat pada masa lampau. Maka untuk menebus kesalahanku, aku tak ingin orang lain mengalami apa yang telah aku perbuat. Aku ingin mereka kembali merasakan kedamaian, walaupun itu dalam detik-detik terakhir mereka”
Sang pemuda terdiam. Seraut penyesalan tergores dimukanya. Namun tampak sebuah senyum keikhlasan tersungging dibibirnya.
“Aku siap pak tua… “ ucapnya lirih.
Pak tua tidak terkejut dengan jawaban si pemuda, kemudian dia tersenyum dan berkata; “Memang demikianlah seharusnya, anakku.” Pak tua terdiam sebentar. Kemudian dia memulai ritualnya;
“Wahai kau jiwa yang damai, kembalilah kau pada fitrahmu. Wahai kau yang bertugas mencabut nyawa, antarkanlah dia.
Wahai Dzat pencipta segala jiwa, terimalah dia .
Ampunilah dia, berikanlah yang telah terenggut darinya .

Dengan tenang pak tuapun mengarahkan belati itu ke jantung sipemuda. Sipemuda tampak tak mengelak, bahkan menyambutnya dengan senyuman kelegaan. Saat belati itu tertancap, terdengar suara geraman menahan sakit, namun hanya sesaat. Si pemuda di detik-detik terakhirnya menatap pak tua;
“Terima kasih pak tua….” Lalu si pemuda itu menutup matanya didunia ini untuk terakhir kalinya. Tampak mayat si pemuda itu tersenyum. Sebab disana, mata hatinya telah melihat apa yang selama ini tidak pernah dilihatnya, mendengar apa yang selama ini tidak pernah didengarnya dan merasakan apa yang selama ini tidak pernah dirasakannya. Disana, disuatu tempat dimana segala tabir telah dibukakan, segala hijab telah dibuka dan segala perbuatan mendapatkan balasan.
Pak tua berjalan pergi dengan lambat. Dari bibirnya terdengar desisan berulang-ulang, sebagaimana yang pernah diucapkan Mansur Al Hallaj ketika menyambut pesta kematiannya;
Matilah untuk hidup! Matilah untuk hidup! Matilah untuk hidup! Matilah untuk hidup !!!!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar