Translate

Jumat, 31 Agustus 2012

BUYUT NUR


Hari belumlah begitu gelap. Namun rumah-rumah penduduk di kampung itu telah terlihat lengang, tanpa penghuni. Hanya satu dua rumah yang tampak berisikan manusia, selebihnya kosong. Akupun menjadi terheran-heran, baru sekali inilah aku mengalami hal seperti ini. Kujelajahi isi kampung untuk mencari kedai yang masih buka, karena tuntutan perutku yang bernyanyi sejak tadi sore telah begitu memilukan. Tapi sungguh sial, tak satupun yang buka. Akhirnya dengan iba hati sambil mengeratkan ikat pinggangku, aku berjalan menuju kearah pintu keluar kampung ini. Walaupun aku rasa mustahil, namun aku berharap untuk dapat menemukan kampung berikutnya malam ini.
            Pada saat itulah disebuah perkarangan rumah penduduk, mataku yang telah mulai kabur menangkap bayangan sebuah batang pohon mangga. Pohonnya rimbun dengan buah yang terjuntai disana-sini. Ranum dan begitu menggoda. Mendadak perutku kembali protes, kali ini dengan cara yang agak keras. Sehingga untuk sesaat aku terbungkuk menahan peri.
            Kulihat kiri dan kanan. Masih seperti tadi, lengang dan sepi. Memang, diujung keputusasaan seorang manusia tak kan segan-segan untuk berbuat nekat. Dan itu kubuktikan sendiri pada malam itu. Dengan mengendap-endap, kudekati pohon itu. Untuk sesaat terjadi pergulatan batin antara moralitas dan kepentingan mempertahankan hidup dalam diriku, yang sudah pasti dimenangkan oleh kebutuhan biologis tubuhku yang amat membutuhkan makanan. Untuk menghibur nuraniku, aku berkilah bahwa apa yang akan kulakukan sekarang terjadi karena keterpaksaan. Dan juga aku berjanji padanya untuk mengganti buah yang akan makan nanti dengan membayarnya saat si pemilik pohon itu kembali.
            Mulailah aku melompati pagar, aman. Kudekati pohon itu sampai berhasil menyentuhnya, aman. Kupanjat pohon itu sampai ke suatu dahan yang lebat oleh buah, aman. Namun petaka muncul saat aku berusaha menjulurkan tanganku hendak meraih sebuah mangga yang tampak begitu gemuk dan ranum. Tanganku gemetar, sebagaimana tubuhku ikut bergetar. Bukan karena takut, namun karena memang tubuhku telah begitu lemah. Kupaksakan dengan tenaga terakhirku, tiba-tiba saja mataku berkunang-kunang, gelap untuk selanjutnya hitam.
            Saat kubuka mataku, aku telah berada disebuah ruangan,semacam bilik dengan pencahayaan berasal dari lampu minyak yang tergantung didekat pintu. Ada seseorang duduk didekatku, seorang perempuan paruh baya dengan seorang gadis tanggung sedang memperhatikanku.
            “Ah, sudah sadar kau kiranya” ucap wanita yang lebih tua. “Tadinya ibu khawatir kalau saudara kenapa-kenapa, syukurlah tidak.”
Aku hanya bisa tersenyum kecut, kesadaran dan pikiranku masih setengahnya bekerja, sehingga aku masih binggung kenapa aku bisa berada disini. Kedua wanita itu tetap memperhatikanku. Tiba-tiba wanita tua yang memanggil dirinya Ibu tadi tersentak seperti teringat sesuatu.
“Oh, ya. Sampai lupa aku. Sri, cepat bawakan nasi dan lauknya kesini. Tentulah anak muda ini sedang lapar perutnya.”Katanya sambil menoleh kesamping menghadap kearah wanita yang lebih muda. Wanita yang disuruh itu menganggukkan kepalanya untuk kemudian berlalu dari ruangan itu. Mendengar kata-kata; nasi, lauk dan lapar, semua ingatanku kembali dengan cepatnya. Teringat akan peristiwa saat aku sedang memanjat pohon mangga untuk kemudian aku perkirakan aku terjatuh dari atasnya. Akupun mengkerut, jangan-jangan…
“Jangan khawatir anak muda. Kau tadi kami temukan tergeletak pingsan dibawah pohon mangga kami. Kamipun membawa kau kedalam rumah” ucap ibu itu lembut membenarkan dugaanku. Aku jadi jadi makin mengkerut karena malu dan takut, takut dibawa kekantor polisi karena berusaha memaling pohon mangganya.
“Maaf bu, sebenarnya saya tidak bermaksud untuk …” sahutku terputus.
Ibu itu hanya mengeleng lembut dan tersenyum,”ah tidak masalah. Lagian ibu tahu kok kamu ini orang baik. Seandainya kamu memang jahat, tentunya rumah ibu yang kamu maling, bukannya pohon mangga itu. Ibu kira kamu sedang kelaparan bukan ?”, tanyanya kepadaku. Aku hanya bisa mengangguk lemah mengiyakan, tambah besar rasa malu dihatiku menghadapi kebaikan hatinya. Pada saat itu wanita yang disuruh tadi (yang kemudian kuketahui adalah anaknya) kembali dengan sepiring nasi lengkap dengan lauknya, perutkupun kembali protes dan berbunyi dengan amat kerasnya sampai-sampai akupun terkejut mendengarnya. Mereka tertegun beberapa saat, lalu tertawa kecil melihat tingkahku. Aku hanya bisa ikut tertawa, walaupun kuyakin sangatlah kecut. Setelah selesai dengan tertawanya, Ibu itupun mengambil piring yang dipegang anaknya, untuk kemudian menyerahkannya padaku dan mempersilahkanku untuk menyantap makanan yang ada diatasnya. Dengan sisa-sisa sopan santun yang masih tersisa aku menerima uluran tangannya, lalu makan dengan lahapnya sambil disaksikan oleh keduanya.
Setelah makanan itu habis tak bersisa, dan perutku merasa kenyang, mulailah kami berkenalan dengan semestinya. Aku ceritakan tentang perjalananku dan kenapa aku sampai di kampung ini. Sementara mereka bercerita tentang keluarga mereka dan pekerjaan mereka sebagai petani. Ternyata mereka cuma tinggal berdua, ditinggal kepala keluarga yang merantau ke kota.
Suatu saat, ditengah pembicaraan kami, akupun teringat akan keganjilan yang aku temukan saat aku memasuki kampung ini. Maka akupun menanyakan hal tersebut pada mereka.
“O, itu. Kamu pasti merasa heran bukan ?” yang kujawab dengan anggukan kepala. “Sebenarnya kami tidaklah berbeda dengan kampung yang lainnya, Nak. Cuma saja, waktu kamu masuk ke kampung kami bertepatan dengan hari peringatan Buyut Nur.”
“Hari peringatan Buyut Nur? Siapa dia ?” tanyaku makin heran.
“Wajar saja Anak tidak mengenalnya. Buyut Nur adalah salah satu nenek moyang dari kampung kami, yang kisah hidupnya telah menjadi legenda bagi kami. Sehingga sebagai bentuk penghornatan kami, setiap tahun kami memperingati hari yang konon adalah hari kelahirannya.”
Aku masih saja bingung, dan itu terbaca olehnya.
“Anak ingin tahu ceritanya bukan? Anak pasti heran kenapa sampai kami begitu menghormatinya. Bukan begitu? “. Dan lagi-lagi aku menganggukkan kepala.
Sejenak dia menarik napas panjang, bersiap-siap menceritakan legenda tentang Buyut Nur.
“Pada jaman dahulu kala, saat daerah ini masih berupa hutan rimba, tidak ada perkampungan disekitar sini selain dari kampung kami. Bisa dibilang pada saat itu kami adalah sebuah kampung pinggiran, dalam artian satu-satunya kampung yang berada paling dekat dengan rimba ini. Jumlah penduduk kampung ini dulunya sangatlah sedikit, dikarenakan banyak orang merasa takut untuk tinggal didaerah kami. Sehingga bisa dikatakan yang tinggal di kampung ini dulunya adalah orang-orang berani”. Ada sedikit nada bangga saat dia mengucapkan kalimat terakhirnya itu. Dia menoleh padaku yang kujawab dengan sebuah senyuman penghormatan. Lalu dia melanjutkan “Namun meskipun terdiri dari orang-orang yang paling berani, kamipun takut untuk berlama-lama berada didalam hutan. Karena rimba terkenal sebagai tempat para dewa bersemayam, sehingga sangatlah angker dan menakutkan. Para dewa yang menghuni hutan ini tergolong dewa-dewa berwatak kejam, yang tak jarang membunuh siapa saja yang tidak berkenan dihatinya ketika memasuki hutannya. Ditambah lagi pada masa-masa tertentu mereka terkadang meminta tumbal manusia untuk dikorbankan sekedar menyenangkan hati mereka. Kami sebagai manusia biasa tidak bisa berbuat apa-apa selain tunduk dan patuh pada mereka”
“Lalu semuanya berubah ketika Buyut Nur kembali kekampung ini. Dia kembali setelah sekian lama merantau keluar mencari berbagai kepandaian dan kesaktian guna memecahkan masalah kampung kami. Pada saat kepulangannya, dia mengumpulkan semua orang dirumahnya dan mengajak secara suka rela para penduduk yang mau ikut dengannya kedalam hutan untuk membunuh para Dewa !. Pada saat itu dia dianggap gila dan hilang ingatan. Banyak penduduk yang mencibirnya, namun dia tidaklah marah. Dengan tetap tersenyum dia berkata bahwa keesokan harinya dia akan pergi sendiri kedalam hutan untuk membunuh para Dewa seorang diri”
Sesaat dia berhenti untuk mereguk air yang ada digelasnya. Setelah dahaganya terpuaskan, dia melanjutkan ceritanya.
“Jadi begitulah, Buyut Nurpun pergi seorang diri. Dengan berbekalkan sebilah parang ditangannya dia berangkat sambil berjanji untuk kembali pada sore harinya. Banyak orang yang menertawakan kenekatannya sebagaimana banyak juga yang merasa kasihan kepadanya. Maka pada hari itu penduduk kampung menanti kedatangannya pada sore hari, harap-harap cemas. Walaupun sikap pesimis akan keberhasilan Buyut Nur demikian kuatnya, namun secercah harapan yang meskipun teramat kecil dihati kami mengharapkan dia berhasil melaksanakan rencananya. Akhirnya sore haripun tiba. Tanpa dikomando, seluruh penduduk kampung berdiri menanti dipintu gerbang menuju hutan. Matahari makin menghilang, sementara Buyut Nur masih belum kembali. Ada yang tidak sabar, lalu kembali pulang sambil menggerutu. Ada yang tertawa miris, menertawakan kebodohan kami untuk mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin. Namun adapula yang tetap bertahan dan masih merasa yakin. Setelah kira-kira hanya lima orang yang tinggal dipintu gerbang, pada saat itulah dari arah hutan terlihat sosok Buyut Nur berjalan dengan tenang. Di tangan kanannya tergenggam parang, sementara ditangan yang lainnya tergenggam sesuatu.
Spontan yang menungguinya measa amat gembira, walaupun masih merasa tidak percaya dengan penglihatannya. Setelah Buyut Nur telah berada dihadapan mereka, barulah segala sikap ketidakpercayaan mereka sirna. Buyut Nur berdiri dengan gagahnya,dengan baju ternoda percikan darah dan tangan menenteng kepala Dewa Pohon Beringin yang kerap mencuri ternak para penduduk.
Tentu saja peristiwa itu membuat geger seluruh kampung. Namun sebanyak orang yang gembira dengan berita keberhasilan Buyut Nur, sebanyak itu pula yang meragukannya dan mengatakan Buyut Nur seorang pendusta, mereka tidak percaya kepala yang dibawa Buyut Nur adalah Kepala Dewa Pohon Beringin yang sering meresahkan mereka. Namun lagi-lagi Buyut Nur tidak mempedulikan itu semua, malah dia tetap bersikap baik terhadap mereka yang memusuhinya.”
“Jadi apa benar kepala itu kepala Dewa Pohon Beringin?” tanyaku tak sadar. Si Ibu menoleh padaku, tersenyum dan menjawab pertanyaanku;
“Memang wajar bila banyak yang tak percaya. Namun setelah kejadian itu ternak para penduduk tak ada lagi yang hilang. Ditambah dengan kemurkaan Dewa Rimba sebagai pemimpin para dewa yang ada disitu yang meminta para penduduk untuk menyerahkan Buyut Nur sebagai tumbal. Kalau tidak, maka dia akan menghancurkan kampung kami.”
“Lalu?” Kataku tak sabar mendengar kelanjutan cerita ini.
“Ya, pada akhirnya semua penduduk percaya padanya. Namun tentu saja mereka merasa gentar dengan ancaman Dewa Rimba. Saat mereka mengadukan hal tersebut kepada Buyut Nur, dia malah bersikap tenang tanpa ada rasa ketakutan sedikitpun. Malah dia menyuruh kami untuk bersabar dan berdoa kepada Allah. Untuk Anak ketahui, pada waktu itu para penduduk tidaklah tahu maksud dari kata Allah. Karena sebelumnya kami terbiasa menyembah Dewa-Dewa. Lalu mulailah Buyut Nur mengajari kami tentang agama. Dikatakannya bahwa kita tak perlu takut pada para Dewa, karena mereka adalah makhluk, sama seperti kita. Kita hanya perlu takut kepada Allah, yang menciptakan segala makhluk. Dia juga mengajarkan bagaimana cara berdoa dan memohon kepadaNya, dan diapun mengajarkan aturan-aturan yang katanya berasal dari Allah. Dia juga membawa kitab-Nya, dan mengajari kami untuk membaca dan memahaminya, dan mendorong kami untuk selalu menuntut ilmu karena dengan ilmulah segala kebatilan dapat dihapuskan.”
“Jadi bagaimana dengan ancaman Dewa Rimba?”, tanyaku.
“Ya, begitu”,jawab Ibu mengantung. Akupun jadi bingung.
“Begitu? Begitu gimana bu?”
“Ya begitu. Akhirnya Buyut Nur bersama para penduduk kampung saling bahu-membahu untuk membunuh para Dewa itu satu persatu. Mulai dari Dewa Api, Dewa Sungai, Dewa Harimau, Dewa Tanah, sampai akhirnya Dewa Rimbapun berhasil mereka bunuh. Pada akhirnya hutanpun menjadi aman dari gangguan para Dewa. Orang-orangpun mulai berdatangan kesini untuk memulai hidup baru. Karena sebenarnya daerah kami ini memiliki tanah yang subur dan pengairan yang cukup setiap tahunnya. Kampung kamipun bertambah besar, semakin besar dan semakin besar lagi. Sehingga oleh Buyut Nur, yang saat itu telah menjadi kepala kampung, bersama dengan murid-murid kepercayaannya, memutuskan untuk memecah kampung ini menjadi dua. Begitulah seterusnya sampai pada akhirnya seluruh hutan telah berubah menjadi perumahan penduduk yang terdiri atas kurang lebih 10 kampung sampai saat ini.”
Ibu terbatuk-batuk kecil menyelesaikan ceritanya. Anaknya Sri segera memberikan gelas berikan air hangat untuk ibunya. Aku hanya dapat terdiam, sungguh fantastis cerita yang baru saja kudengar. Antara percaya dan tidak, logikaku beradu dengan kekaguman.
Tapi sikap diamku mungkin diartikan sebagai ekspresi tidak percaya oleh Ibu, dibuktikan dengan kata-katanya;
“Anak pasti tidak percaya dengan cerita yang Ibu ceritakan. Memang banyak yang menganggap cerita ini sebagai dongeng belaka, sebelum mereka akhirnya dapat membuktikannya.”
Akupun jadi terkejut, “Maksud Ibu apa?”
“Begini, dikampung ini masih ada kok yang keturunan langsung dari Buyut Nur. Tempatnya kira-kira 100 meter dari sini. Mudah kok menemukannya, cari saja bangunan megah dengan pagar beton dengan perkarangan yang luas. Ditengah-tengah bagunan itu biasanya terdapat salah satu dari keturunan Buyut Nur.”
“Oh, jadi rumahnya tidak jauh dari sini ya Bu?” tanyaku meastikan.
O,bukan. Yang tadi itu bukan rumahnya. Disitu itu kuburan Buyut Nur, hasil pembangunan dari para muridnya yang sangat menaruh hormat padanya. Kalau rumah keluarga keturunan Buyut Nur sih jauh. Mereka tersebar merata disetiap kampung. Istilahnya mereka menjadi keluarga Tetua dari setiap kampung. Kebetulan disini ada kuburannya, maka demi keadilan, para keluarganya bersepakat untuk tidak tinggal di kampung ini. Begitu ...”.
Aku kembali terdiam mencerna informasi yang barusan kudengar, ada sesuatu yang terasa ganjil disana.
“Duh, anak ini nggak mudah percaya ya! Gini saja, nanti waktu kamu udah agak kuat kamu pergi kesana untuk membuktikan kata-kata ibu. Lagian disana sekarang masih ramai kok. Masalahnya baru tadi malam acara perayaan hari Buyut Nur diadakan disana. Jadi masih banyak yang berdiam disana. Ada yang ziarah, menanyakan jodoh, atau minta rezeki. Atau kalau kamu mau kamu juga boleh mencobanya. Siapa tahu peruntungan kamu berubah setelah berdoa disana”
“Boleh juga bu” jawabku sekedar menyenangkan hatinya. Diapun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tak lama kemudian mereka pamit untuk tidur dan meninggalkan aku sendirian di kamar ini. Tak berapa lama kemudian akupun terlelap.
Besoknya setelah makan pagi, aku segera pamit dengan mereka. Tidak enak juga terlalu merepotkan orang. Mula-mulanya mereka terkejut dan bertanya apakah ada salah mereka sehingga aku memutuskan untuk cepat-cepat pergi dari sana. Namun setelah aku jelaskan bahwa masih banyak tempat yang aku tuju, akhirnya merekapun mengerti. Malah Sri segera bergegas menyiapkan bekal makan siang dijalan untukku, walaupun telah berkali-kali aku katakan bahwa mereka tidak perlu repot-repot. Namun mereka tetap bersikeras, dan untuk menyenangkan hati mereka akupun menerimanya. Sebelum aku meninggalkan rumah itu, Ibu masih sempat mengingatkanku untuk mengunjungi makam Buyut Nur.
Akhirnya, karena untuk memenuhi tanggung jawab moralku, akupun berkunjung ke makam Buyut Nur. Memang setelah mendengar cerita Ibu tadi malam aku telah membayangkan bagaimana kira-kira situasi dan suasana makam tersebut. Namun setelah aku lihat sendiri, aku hanya bisa ternganga, karena kenyataaannya jauh melebihi perkiraanku.
Apa yang disebut sebagai makam itu ternyata adalah sebuah bangunan yang berada disebuah tanah berukuran kira-kira 5 hektar persegi. Pagar sebagai pembatas daerah makam itu dengan kawasan luar terbuat dari beton yang penuh dengan pahatan dan ditempeli bermacam-macam porselen indah. Diatas pintu gerbang yang berbentuk gapura terdapat sebuah lempengan logam yang berukir tulisan-tulisan yang isinya menyatakan bahwa bangunan itu adalah kompleks pemakaman Buyut Nur dengan beberapa murid kesayangannya. Makin aku melangkah kedalam, aku jadi makin terkejut. Aroma dupa dan kembang begitu tajam menusuk hidung. Berbaur dengan bau kembang gula-gula, eskrim, bakso dan panganan lain yang mangkal didalamnya. Ditengah-tengah kawasan ini terdapat sebuah bangunan utama, berwarna putih dan bercorak tradisional. Tampak beberapa orang tengah khusuk dalam kegiatannya masing-masing mengelilingi tengah bangunan itu yang berbentuk persegi panjang. Dalam pikiranku pastilah itu makam Buyut Nur. Setelah aku berkeliling dalam kawasan ini (ternyata disamping bangunan utama, terdapat pula beberapa bangunan yang lebih kecil tersebar merata disekitar bangunan utama. Kuyakin itu semua adalah makam para murid Buyut Nur), akupun merasa lelah dan memutuskan untuk mencari tempat berisitirahat agak kepojok kawasan ini. Karena kulihat kawasan itu teduh oleh naungan dedaunan pohon beringin yang telah teramat tua. Namun saat aku makin mendekati pohon itu, aku jadi malu sendiri. Karena ternyata disana telah penuh dengan muda-mudi yang sedang asik memadu kasih. Bahkan ada beberapa pasangan yang beratraksi cukup gila yang membuatku jengah. Belum lagi bau wangi tajam yang berasal dari dupa-dupa yang diletakkan dibeberapa bagian dari pohon tersebut. Didekat dupa itu terdapat beberapa aksesoris lain seperti kertas, pena dan semacamnya yang tak kuketahui kegunaannya.
Akhirnya aku jadi capek sendiri. Akupun jadi teringat kembali akan perjalananku. Setelah beberapa lama berisitirahat disebuah kedai kopi yang terdapat didepan pintu gerbang, akupun segera melangkahkan kakiku meninggalkan kampung itu. Namun, untuk terakhir kalinya aku masih sempat untuk menoleh kebelakang yang melihat kembali kearah makam Buyut Nur. Biarlah kampung ini dengan legenda Buyut Nur-nya menjadi bagian dari memori perjalanan hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar