Translate

Jumat, 31 Agustus 2012

PINTU


Telah lelah kaki ini berjalan, namun tetap kupaksakan.
Letih jiwa ini, namun  tetap kumencari.
Buntu rasanya otak ini, namun tetap kupikirkan.
Padang rumput, hutan rimba dan samudra lepas telah kujelajahi, namun tak kutemukan apa yang kucari.
Asa yang kian lama kian padam, mati-matian kupertahankan.
 Karena kutakut jika seandainya itu sirna, maka aku akan berjalan dalam kegelapan.

     Akhirnya aku sampai disini. Hamparan padangpasir tandus tak bertuan. Mungkinkah pintu itu akan kutemukan disini? Kukuatkan kakiku yang telah gontai, kutegarkan jiwaku yang mulai lunglai. Kuterus berjalan sambil tetap menatap sekeliling, berharap pintu itu akan berada disana, entah kapan dan dimana.
     Malam gelap tanpa rembulan, aku berjalan berbekal sinar redup sang bintang, di garis horizon kulihat sesuatu yang amat cemerlang. Terang gemilang cahayanya. Mungkinkah itu yang selama ini aku cari? Tubuhku bergetar, perasaanku terkoyak. Sebuah perasaan rindu yang amat mendalam menghantam nuraniku. Bagai kesetanan aku berlari kesana. Namun saat kudekati, cahaya itu telah pindah. Sekarang berada disamping kiriku. Akupun berlari kesana, namun dia kembali pindah. Sekarang ada disamping kananku. Aku tetap berlari, mengejar tanpa peduli apa yang akan terjadi. Hal yang sama kembali terjadi. Sekarang dia pindah kebelakangku, ketempat dimana aku pertama kali mulai mengejarnya. Tak terasa sambil berlari aku terisak.

Wahai kau yang selama ini kukejar, kenapa kau begitu angkuh?
Tak pantaskah aku mendekatimu?
Begitu hinakah diriku untuk berdiri dihadapanmu?

Sedih yang bercampur dengan rindu saling bergumul dengan perpaduan keringat dan air mata yang terus mengucur dari diriku.
     Ah, disana kau rupanya. Akupun mulai mengendap-endap. Takut dia akan berpindah lagi. Selangkah, dua langkah, aku makin mendekat. Terasa cahayanya yang begitu agung menerpa diriku, menembus setiap pori tubuhku untuk kemudian menyerap kedalam tubuhku. Tiba-tiba cahaya itu bergeming. Akupun segera bersembunyi, takut jika dia melarikan diri lagi. Tiba-tiba sebuah suara dari cahaya itu menyapaku dalam persembunyian.
“Hai jiwa yang mencari. Kenapa kau bersembunyi disana? Kemarilah, aku ada disini.”
Sungguh, suara itu bagaikan sebuah nyanyian surga, terdengar begitu merdu dan menyejukkan. Ternyata benar, apa yag kucari ada disana. Tapi, aku takut. Takut jika dia hanya ingin memperdayaku dan mempermainkanku. Jangan-jangan saat aku menampakkan diriku, dia segera menghilang. Tidak, jangan, jangan pergi lagi. Aku telah muak dengan perjalanan ini.
“Kenapa kau masih disana, jiwa yang resah? Datanglah kemari. Cepatlah acara akan segera dimulai.”
“Aku takut” jawabku.
“Takut? Takut kepada siapa?” tanyanya lagi.
“Takut kepada dirimu”
“Kenapa kau takut pada diriku? Bukankah aku yang selama ini kau cari?” tanyanya.
“Aku takut kau hanya memperdayaku. Aku takut jika nantinya aku perlihatkan diriku, kau segera menghilang meninggalkan diriku. Sungguh, daripada melihat kau kembali menghilang, lebih baik aku disini mengagumimu”.
Sesaat tak terdengar jawaban. Aku menjadi panik, jangan-jangan dia tersinggung akan ucapanku? Apa yang telah aku lakukan? Perlahan-lahan aku mengintip dari tempatku bersembunyi. Ah, ternyata dia masih disana. Lega hati ini rasanya.
“Tak perlu takut, percayalah. Aku takkan menghilang lagi. Perlihatkanlah dirimu”, ujarnya.
“Apakah kau mau berjanji?” tanyaku memastikan.
“Aku berjanji” jawabnya.
“Demi Allah?” tambahku lagi.
“Demi Allah, yang nyawa setiap makhluk berada ditanganNya. Aku takkan mendustaimu. Datanglah kemari. Jika kita berjodoh, tentulah aku akan merasa sangat bahagia”
Tak terlukiskan kegembiraan yang meliputi hati ini. Tanpa membuang waktu, akupun segera menampakkan diriku. Ah, ternyata memang benar. Dia begitu indah, begitu cantik.
“Hai kekasihku, kenapa kau masih disana? Mendekatlah. Agar aku dapat mengenalimu dengan lebih baik”
Perlahan-lahan aku melangkah mendekat, setiap langkah yang kubuat semakin mendatangkan perasaan bahagia yang bertubi-tubi menghujam hatiku. Saat aku telah berada begitu dekat dengannya, kurasakan kedamaian yang selama ini tak pernah kudapatkan. Badanku menjadi begitu ringan, seakan melayang. Pikiranku menjadi begitu jernih, hatiku menjadi begitu tenang.
“Masuklah, masuklah melalui diriku. Disana mereka telah menunggumu” katanya memecah kesunyian.
“Mereka? Mereka siapa?” tanyaku cemburu. “Adakah orang lain didalam sana?”
Terdengar sebuah tawa merdu yang menertawakan kecemburuanku. Namun aku tak menjadi sakit hati, malah menjadi malu dengan kecemburuanku.
“Ketahuilah, setiap orang berhak untuk memiliki diriku. Selama mereka adalah insan yang sama seperti dirimu. Selama mereka memiliki tujuan yang sama seperti dirimu. Selama mereka bertekat untuk menuntaskan pencariannya, aku berhak untuk mereka miliki. Sebenarnya aku bukanlah milik siapa-siapa, hanya Allahlah pemilikku yang sebenarnya”
Aku jadi bertambah malu. Benar katanya, apa hakku untuk cemburu?
“Sudahlah, tak perlu kau membuang waktu berdiri disana. Masuklah cepat, karena mereka yang telah berada didalam sana tak sabar ingin menyambutmu. Telah mereka sediakan anggur bagi dirimu, telah dibunyikan musik menyambut kedatanganmu. Tarianpun telah dipersiapkan. Cepatlah masuk, pesta sebentar lagi akan dimulai.” Katanya makin menggoda.
“Tapi, bagaimana caranya?”, jawabku kebingungan.
“Tak tahukah kau?”tanyanya lagi.
“Sungguh aku tak tahu!”
“Benar-benar tak tahukah kau caranya?”
“Tolong jangan kau siksa lagi diriku! Aku benar-benar tak tahu bagaimana caranya! Beritahukanlah aku! Karena disana teman-temanku telah menungguku untuk berpesta. Cepatlah, beritahu aku!”
“Ah, kau jiwa yang malang! Kau bagaikan prajurit dimedan perang yang tak tahu siapa musuhnya. Kau bagaikan seorang buta yang tak tahu siang dan malam. Sungguh kasihan kau…”
Akupun mulai menangis, merengek seperti anak kecil. Kedamaian dan kebahagiaan yang sesaat tadi kurasakan sekarang terenggut dengan kasarnya, menyisakan perasaan cemas dan khawatir yang tak terhingga.
“Tanggalkanlah pakaianmu!” ucap suara itu lagi.
Akupun menurut, segera bergerak menanggalkan pakaianku. Tapi, ternyata pakaian yang kupakai seolah tak rela berpisah dari tubuhku. Mereka berubah menjadi begitu ketat dan begitu berat. Mencengkram badanku sejadi-jadinya.
“Apa yang terjadi?” tanyaku pada diriku sendiri
“Cepatlah, sebentar lagi kesempatanmu akan habis. Bersegeralah melakukannya” kata suara itu.
Aku menjadi panik, dan berusaha sekuat-kuatnya menanggalkan pakaianku. Akhirnya dengan usaha yang teramat sangat menyakitkan, aku berhasil menanggalkannya.
“Tanggalkan juga selopmu, karena disana kau takkan membutuhkannya”ujar suara itu lagi.
Kembali aku menurut, dan hendak menanggalkan selop yang berada ditelapak kakiku. Namun ternyata aku tak sanggup untuk mengangkat kakiku. Selop itu seakan berubah menjadi lumpur hidup atau jerat akar kayu yang memakukan kakiku keatas tanah. Aku kembali menangis, bahkan sekarang meraung terisak-isak. Berbagai cara kulakukan agar aku dapat melepaskannya, namun nihil.
Lalu dia berkata; “Hai insan, tampaknya kita belum berjodoh. Waktumu belum tiba, kau belum bisa masuk kedalamku”
“Jangan,jangan kau berkata begitu! Jangan kau tinggalkan aku lagi! Tolong, kumohon, beri aku sedikit waktu lagi untuk melepaskan selop ini. Kalau perlu akan memotong kakiku! Yang penting kau jangan pergi!” raungku sambil meninju-ninju kakiku sejadi-jadinya. Memang sakit, tapi jika sakit ini bisa melepaskanku dari selop itu, biarlah tak mengapa.
“Jangan kau paksakan. Tak akan ada hasil yang baik jika kau melakukannya dengan cara yang salah. Jangan kau menyesal, karena aku berjanji dengan Allah sebagai saksiku, bahwa aku akan datang kehadapanmu saat selop itu nantinya secara sukarela lepas dari dirimu. Sebagaimana pakaianmu nanti secara sukarela terlepas dari badanmu. Itulah janjiku padamu, jangan kau paksakan”
Aku menangis meraung-raung. Tapi walau bagaimanapun juga apa yang dia ucapkan benar.
“Lalu apa yang harus aku lakukan jika seandainya nanti pada suatu masa aku telah berhasil melepaskan pakaian dan selopku ini dengan semestinya? Kemanakah kau akan aku cari?” tanyaku lirih.
“Tidak, kau tak perlu mencariku. Karena sesungguhnya akulah yang akan mendatangimu saat semuanya itu terjadi. Bersabarlah dan teruslah berusaha. Semoga Allah melimpahkan rahmatNya sehingga kau berhasil mencapai apa yang kau idam-idamkan”.
Selesai berkata demikian, diapun perlahan mulai menghilang. Namun sesaat dia akan benar-benar sirna, kutangkap beberapa siluet  tergores dicahaya itu. Disana kulihat Rumi sedang menari, Hamzah khusuk membacakan syair sementara Sutarji khidmat mendengarkannya. Hafiz dan Jami’ sibuk berdebat dengan bahasa yang indah, sedangkan Ikbal larut dalam lamunannya.
sayup-sayup kudengar beberapa syair dibaca oleh Rumi yang hanyut dalam tariannya;

Oh Cahaya berseri, kemari
Limpahan rasa dan rindu, datanglah
Dari anda cinta melanda, mengapa pergi
Anda laksana matahari, laksana dekat hilang
Wahai yang dekat dikejauhan
Kemarilah Tuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar